Teori dan Asumsi Orientalis tentang Hadits serta Bantahan Sarjana Muslim

Teori dan Asumsi Orientalis tentang Hadits
Secara umum kajian orientalis terhadap islam, khususnya hadits, menurut Sahiron Syamsuddin[1] dapat dipetakan menjadi tiga asumsi, yakni asumsi skeptis, asumsi non-skeptis dan asumsi middle ground berikut tokoh-tokoh pendukung beserta teori-teori yang membangunnya.
  1. Asumsi Skeptis
Asumsi skeptic adalah asumsi/persepsi yang meragukan otentisitas hadis Nabi Muhammad SAW. Di antara orientalis yang dapat dikategorikan memiliki asumsi demikian terhadap hadis adalah sebagai berikut :
a. Ignaz Goldziher
Nama lengkapnya adalah Ignaz Goldziher. Dia lahir pada tanggal 22 Juni 1850 di kota Hongaria. Dia
Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher
Berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang dan memiliki pengaruh yang sangat luas. Pendidikannya dimulai dari Budhaphes, kemudian melanjutkan ke Berlin dan Liepziq pada tahun 1869.[2] Pada tahun 1870 dia pergi ke Syria dan belajar pada Syeikh Tahir al-Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina, lalu melanjutkan studinya ke Mesir, dimana dia sempat belajar pada beberapa ulama al-Azhar. Sepulangnya dari Mesir, tahun 1873, dia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budhapes. Di Universitas ini, dia menekankan kajian peradaban Arab dan menjadi seorang kritikus hadits paling penting di abad ke-19. Pada tanggal 13 Desember 1921, akhirnya dia menghembuskan nafas terakhirnya di Budhaphes.[3]
Bagi Goldziher, hadis Nabi bukanlah representasi kelahiran Islam, tetapi merupakan refleksi atas tendensi-tendensi masa awal perkembangan masyarakat. Dengan kata lain, hadis adalah tradisi masyarakat Arab.[4]
Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad. Hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya.
“Ignaz Goldziher melalui analisa dan pemikirannya telah melahirkan paham sesat dalam Islam yaitu Inkar Sunnah (inkar hadits).”[5]
Pada tahun 1890 Ignaz Goldziher menerbitkan hasil penelitiannyatentang hadits Nabawi dengan judul Muhammadanische Studies, di mana ia membantah otentisitas apa yang disebut hadits oleh orang-orang Islam. Menurutnya hadits Nabawi tidak lebih dari produk perkembangan keadaan sosial politik Islam pada waktu itu. Ia juga menuduh bahwa yamg disebut saanad adalah bikinan orang-orang belakangan.[6]
Sebagai seorang orientalis yang gigih, ia berusaha menciptakan keresahan umat Islam, seperti menggoyang kebenaran hadits Nabi Muhammad Saw, maka karya-karyanya menjadi sangat berbahaya, terutama berita  kebohongan dan kebodohan yang dapat menciptakan permusuhan terhadap Islam.
Goldziher, sebagai orientalis yang kritis, menganggap negatif keberadaan hadits. Walaupun dia dikenal lebih skeptis dari pada Alois Sprenger (kritikus hadits pertama kali) dengan karyanya “Uber Das Traditionsweser Bei Dai Arabern“(1856)[7] dan Sir William Munir dengan karyanya life of  Mahomet[8], namun dalam beberapa hal, Goldziher mampu memberikan penilaian ataupun celaan seputar eksistensi dan validitas hadits tersebut. 
Kritikan Goldziher terhadap hadits pergi ketiga masjid tersebut menurutnya “Abdul al-Malik bin Marwan merasa khawatir apabila orang-orang Islam yang pergi haji ke Makkah itu melakukan bai’at kepada Abdullah bin al-Zubair. Karena itu ia berusaha agar orang-orang dapat melakukan haji di Qubah al-Shakhra di Qudus (Jerussalem) sebagai ganti dari pergi haji ke Makkah. Untuk tujuan politis ini, ia mempercayakan ahli hadits al-Zuhri untuk membuat hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah dan mengedarkannya di masyarakat, sehingga dapat dipakai untuk beribadah haji yaitu masjid di Makah, Masjid Madinah, dan Masjid di Jerussalem Akan tetapi ahli sejarah menilai tahun kelahiran al-Zuhri antara 50H-58H tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81H. Dari data tesebut dapat disimpulkan bahwa Abdul Malik bin Marwan tidak mungkin mempunyai pikiran untuk membangun Qubah as-Sahkra sebagai pengganti ka’bah kecuali sesudah tahun 68 H.[9]

b. Joseph Schacht
Joseph Schacht lahir pada tanggal 15 maret 1902 di Ratibor Silesia, (dulu termasuk wilayah Jerman, tapi sekarang sudah termasuk wilayah Polandia, Raciborz), hanya menyeberangi perbatasan dari Cekoslowakia. Ia juga berasal dari Keluarga yang Relative Agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut Katolik Roma dan Sebagai Guru Anak-anak bisu dan tuli. Pada Tahun 1945 ia menikah dengan Loise Isabel Dorothy dari ingris.
Joseph Schacht ialah seorang sejarawan Hukum yang memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi ilmu pengetahuan, baik tentang perkembangan sejarah Hukum Islam atau tentang Sunnah Nabi, dua persoalan yang Fundamental tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Pendekatannya mungkin dapat disimpulkan sebagai perluasan dari sikap skeptis Ignaz Goldziher terhadap pembentukan Hukum Islam dalam Hadis Nabi yang memiliki peranan.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence An Introduction to Islamic Law, dan Pre Islamic Background and Early Develompemnt of Jurisprudence.[10]
Pemikiran Josepht Schahct atas hadits  banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu, dan berhasil “menyakinkan” tidak adanya otentisitas itu, khususnya hadits-hadits fiqih.[11]
Joseph Schacht menyusun beberapa teori untuk membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, antara lain:
  • Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits  bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits  Nabi. Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para fuqaha di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
  • Teori E Siliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama/perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits  dan gagal menyebutkannya. Membuktikan hadits  itu eksis/ tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits  tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits  itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
  • Teori Common Link
Teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung jawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya.
c. H.A Juynboll
Juynboll adalah seorang orientalis yang mendukung pemikiran kedua orientalis di atas, berasal dari Belanda dan dilahirkan tahun 1935,  sejak di bangku S1 di Leiden ia telah banyak melakukan kajian tentang otensitas hadits. Beberapa karyanya seperti Muslim Tradition : Studies in Cronology Provenance and Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence.
Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunboll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadis-hadis palsu.
Tiga tokoh tersebut menjadi sasaran pokok serangan para orientalis karena ketiganya menempati posisi-posisi yang strategis dalam kajian ilmu Hadis; Abu Hurairah adalah Shahabat yang tercatat sebagai shahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad. Dan al-Zuhri disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Hadis. sementara al-Bukhari adalah tokoh yang menulis kitab paling otentik sesudah al-Quran, yaitu kitab Shahih al-Bukhari.
  1. Asumsi non-skeptis
Asumsi non-skeptis merupakan lawan dari asumsi skeptis, yakni asumsi yang tidak meragukan otentisitas hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Di antara tokoh pendukung asumsi ini adalah Nabila Abbot, seorang guru besar di Universitas Chicago, USA.[12]
Abbot berpendapat sebaliknya dari tokoh orientalis asumsi skeptic, dia menyimpulkan bahwa terdapat bukti-bukti konkrit yang menunjukkan adanya pencatatan dan penulisan hadis sejak tahun pertama hijriah, yakni sejak Rasulullah masih hidup.
  1. Asumsi Middle Ground
Asumsi ini merupakan asumsi yang menengahi dua teori yang berlawanan di atas (skeptis dan non-skiptis). Asumsi ini diwakili oleh Harald Motzki, seorang Profesor hadis di Universitas Nijmegen Belanda. Dia mengkritik asumsi Schacht dan Juynboll dengan mengatakan bahwa otentisitas hadis terbukti terjadi sejak abad ke-1 H.
Motzki berkesimpulan bahwa kecil sekali kemungkinan terjadinya keragaman data periwayatan itu merupakan hasil pemalsuan berencana. Dengan demikian Motzki sepakan dengan Coulson, yang mengusulkan adar para orientalis membalik tesis Schacht dari via negativa mejadi via positive. Jika Schacht menyatakan bahwa semua hadis harus dianggap tidak otentik hingga terbukti sebaliknya, maka harus dibalik menjadi: “Semua hadis harus dianggap otentik, kecuali jika terbukti ketidak-otentikannya”.[13]
Pendapat Motzki menjadi pro dan kontra di antara kalangan orientalis sendiri, adapun yang sependapat dengannya adalah Groger Schoeler, dan yang menentang adalah Irine Schneider.

Bantahan Sarjana Muslim Terhadap Tokoh Orientalis
Kritikan terhadap hadits dari kalangan orientalis tidak membuat ulama Islam berdiam diri, bahkan menjadi stimulus para ulama untuk menanggapi atau menagkal teori-teori para orientalis berasumsi skiptis tentang keabsahan dan autentisitas hadis. Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi pendapat para orientalis tersebut adalah Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy, Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib, Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami.
Bantahan dari ulama-ulama tersebut, terutama Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami yang telah menelanjangi para orientalis sampai mereka tidak berkutik karena argument-argument yang disampaikannya benar dan valid sebagai berikut.

a. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum menjadi dokumen sejarah yang ada pada masa-masa awal pertumbuhan Islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya : Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature). Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya. Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah.
Sisi metodologi yang dikritik Azami adalah kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadis Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadis-hadits ritual/ibadah.

b. Bantahan untuk Josep Schacht
Menurut Azami kekeliruan Josep  Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai asumsi penyusunan teorinya. Dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad Abu Hurairah, Abu Shalih, dan Suhail, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadis bisa dipalsukan begitu saja.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadis pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadis itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus/menasakh hadis tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadis-hadis hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadis-hadis ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Membantah teori yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-hadis Nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H).

c. Bantahan untuk G.H.A Juynboll
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadis pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadis maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadis. Para ahli hadis sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadis secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadis pada isnad-nya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadis itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadis sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
Penulis: Muhammad Nasir

Catatan Kaki
[1] Sahiron Syamsuddin, Pemetaan Penelitian Orientalis terhadap Hadits, dalam M. Nur Kholis Setiawan dan Sahiron Syamsuddin dkk, Orientalisme al-Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: Nawesea, 2007), 46-49
[2] Achmad Zuhdi DH, Pandangan orientalis Barat tentang Islam antara yang menghujat dan yang memuji, (Surabaya: Karya Pembina Swajaya, 2004), hal. 142.
[3] Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadits, cet. 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), hal. 14.
[4] Ummi Subullah, Op.cit,  h. 170.
[5] M. Amin Djamaluddin, Bahaya Inkar Sunah, LPPI, hal 5, 7, 25.
[6]Ali Mustofa Yaqub, Imam Bukhori dan Metodologi kritik dalam Ilmu Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1991), hal. 2 
[7] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, terj. C.R. Barber dan S.M. Sterm, (London: 1971), hal. 181.
[8] Daniel Brown, Islam Menyoal Relevansi Dalam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. I, hal. 111.
[9] Idri, Op.Cit, h. 322.
[10] Ummi Subullah, Op.Cit, h. 172.
[11] Ali Mustofa Yaqub, Op.Cit., Hal.2
[12] Ummi Subullah, Op.Cit,  h. 174.
[13] Ummi Subullah, Op.Cit, h. 176.

Leave a Reply

Your email address will not be published.