Pada tahun 1938, Muhammad Natsir mulai aktif di bidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Beliau menjabat ketua PII Bandung pada tahun 1940 hingga tahun 1942 dan bekerja di pemerintahan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kodya Bandung sampai tahun 1945 dan merangkap Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942-1945, Jepang merasa perlu merangkul Islam, maka dibentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan organisasi politik Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, majelis ini berubah menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tanggal 7 Nopember 1945 dan selanjutnya mengantarkan Muhammad Natsir sebagai salah satu ketuanya hingga partai tersebut dibubarkan.

Pada masa-masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Muhammad Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin negara, sebagaimana diungkapkan Herbert Feith, “Natsir adalah salah seorang menteri dan perdana menteri yang terkenal sebagai administrator yang berbakat yang pernah berkuasa sesudah Indonesia merdeka.” Bahkan, Bung Karno mengakui kemampuan Muhammad Natsir sebagai administrator, demikian juga Bung Hatta.

Muhammad Natsir
Sesudah Indonesia merdeka, ia dipercaya menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tatkala Perdana Menteri Sutan Sjahrir memerlukan dukungan Islam untuk kabinetnya, dia memintanya menjadi menteri penerangan. Bung Karno yang pernah menjadi lawan polemiknya pada tahun 1930, sama sekali tidak keberatan atas gagasan Sjahrir menunjuk Muhammad Natsir menjadi menteri penerangan. “Hij is de man” “dialah orangnya” kata Bung Karno. Bekas Wakil Presiden, Mohammad Hatta memberi kesaksian bahwa Bung Karno selaku presiden tidak mau menandatangani sesuatu keterangan pemerintah jika bukan Muhammad Natsir yang menyusunnya. Tampilnya Muhammad Natsir ke puncak pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi pada sidang parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950, yang lebih dikenal dengan sebutan “Mosi Integral Muhammad Natsir”. Mosi itulah yang memungkinkan Republik Indonesia yang telah berpecah belah sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) menjadi tujuh belas negara bagian, kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1]

*Penulis: Yuliana

Catatan Kaki:


[1]Dr. Thohir Luth, M. Natsir ; Dakwah Dan Pemikirannya...... Hal. 22-25.