Pada tahun 1940-an, Muhammad Natsir pernah terlibat
dengan Soekarno, tentang agama dan negara. Menurut Soekarno, agama mesti
dipisahkan dari negara. Ia berpendapat dengan mengutip diantaranya adalah
Syeikh Ali Abdur Raziq, seorang ulama dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir,
bahwa dalam Al Quran dan sunnah maupun ijma ulama, tidak ada keharusan adanya
bersatunya negara dengan agama. Seoekarno lalu menengok ke Turki, di mana
Mustahafa Kemal Attartuk memisahkan agama dari negara. Dan menurut Soekarno,
karena itu Turki bisa maju.
Muhammad Natsir & Soekarno. (foto: dharmasetyawan.com) |
Tapi bagi Muhammad Natsir, pemikiran Soekarno itu keliru.
Menurutnya agama, dalam hal ini Islam, tak bisa dipisahkan dari agama. Urusan
negara adalah bagian dari menjalankan perintah Allah SWT. ia lalu mengutip Al
Quran surah 51 ayat 56, “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan
untuk mengabdi kepada-Ku”. Bagi Muhammad Natsir, negara bukanlah
segala-galanya. Ia hanya merupakan alat untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat.
Tentang penyatuan agama dengan negara, Muhammad Natsir
menulis, “Bagi kita kaum muslimin, negara bukanlah suatu badan yang tersendiri
yang menjadi tujuan. Dengan persatuan agama dengan negara yang kita maksudkan
bukanlah bahwa agama itu cukup sekedar dimasukkan saja di sana sini kepada
negara itu. Bukan begitu! Negara, bagi kita bukan tujuan tetapi alat. Urusan
kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat
dipisahkan, satu ‘intergreerenddeel’ dari Islam. Yang menjadi tujuan
ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang Illahi, baik yang berkenaan dengan
perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari
masyarakat.”
Pandangan Muhammad Natsir sangat Islamis, sementara
soekarno berpandangan sekuler. Menurut Muhammad Natsir, sekulerisme adalah cara
hidup yang mengandung paham, tujuan dan sikap, hanya di dalam batas hidup
keduniaan. Sesuatu dalam penghidupan kaum sekularis tidak ditujukan kepada apa
yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan dan sebagainya.
Walaupun adakalanya mereka mengetahui adanya Tuhan. Ia lalu memberi contoh
dalam kehidupan sehari-hari misalnya, seorang sekularis tidak menganggap perlu
adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan
sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti do’a dan ibadah. Adapun ajaran
sekularisme yang paling berbahaya karena paham ini menurunkan nilai-nilai hidup
manusia dari taraf ketuhanan kepada taraf kemasyarakatan.
Bersatunya agama dengan negara, menurut Muhammad Natsir
adalah buah dari sejarah. Ia memberi contoh sejak pertama kali Islam datang ke
nusantara, Islam adalah sumber kekuatan politik di bumi pertiwi ini. Dan ini
dibuktikan dengan kenyataan sejarah, bahwa Islam dipakai sebagai dasar dan
sumber kekuatan dari kerajaan-kerajaan Islam. Adapun pilihan Islam sebagai
dasar negara, karena Islam adalah agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat
Indonesia. Jika Islam menjadi minoritas, maka tidak ada alasan dijadikan
sebagai dasar negara.
Menurut Muhammad Natsir, bila dalam pemerintahan
negara-negara berpenduduk muslim terjadi ketimpangan-ketimpangan, maka itu
bukanlah suatu ukuran yang bisa dijadikan alasan untuk menolak prinsip negara
dan agama. Karena itu untuk menjadi kepala negara dalam pemerintahan Islam, ada
persyaratan yang cukup ketat. Ia menyebut tentang pengetahuan agamanya, sifat,
tabiat, akhlak dan kecakapannya untuk memegang kekuasaan yang diberikan
kepadanya, bukan bangsa dan keturunannya atau semata-mata disandarkan kepada
kemampuan intelektualnya saja. Sepanjang penguasa itu masih di jalur yang
benar, sepanjang itu pula wajib ditaati. Tapi, bila si pemimpin sudah
menyimpang, maka tak wajib lagi diikuti. Karena itu dalam Islam mewajibkan
musyawarah tentang kewajiban dan hak antara penguasa dengan rakyatnya.
Muhammad Natsir bersama Tokoh Tokoh Penting. (foto: eramuslim.com) |
Adapun prinsip musyawarah, dalam pandangan Muhammad
Natsir tidaklah selalu identik dengan demokrasi. Ini adalah koreksi Muhammad
Natsir terhadap Soekarno yang menghendaki asas demokrasi dijadikan landasan
bila ada perselisihan. “Islam itu antiistibdad, antiabsolutisme dan
kesewenang-wenangan. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam pemerintahan
Islam itu semua urusan diserahkan kepada keputusan musyawarah majelis syura.
Ini karena, menurut Muhammad Natsir dalam parlemen negara Islam yang boleh
dimusyawarahkan adalah tata cara pelaksanaan hukum Islam, tapi bukan dasar
pemerintahannya. Bagi Muhammad Natsir, Islam itu suatu pengertian, suatu paham,
suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. “Islam tak usah
demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu ya Islam!”
Dalam pandangan Soekarno, Turki di masa Kemal Attartuk
adalah sebuah negara yang demokratik. Tapi Muhammad Natsir melihatnya lain.
Sebab, di masa Attartuk, di Turki tak ada kebebasan pers, tak ada kebebasan
berpendapat, dan tak ada partai oposisi yang semuanya ini adalah pengingkaran
terhadap watak demokrasi itu sendiri.
Ketika Soekarno sebagai presiden yang sudah mengarah pada
penyimpangan amanat UUD 1945, Muhammad Natsir kembali angkat bicara dan fisik.
Muhammad Natsir, Syarifuddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap yang
didukung oleh puluhan politisi menuntut agar dibentuk kabinet yang dipimpin
oleh Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX, masing-masing sebagai Perdana
Menteri dan Wakil Perdana Menteri. Puncaknya adalah dikeluarkannya ultimatum
pada 10 Februari 1958. Isinya, jika pemerintah pusat tidak memberi jawaban,
maka mereka menganggap tak punya kewajiban taat kepada pemerintah yang
melanggar UUD.[1]
Keadaan ini mendorong Muhammad Natsir bergabung dengan
para penentang lainnya dan membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI), suatu pemerintahan tandingan di pedalaman Sumatera. Tokoh PRRI
menyatakan bahwa pemerintah di bawah presiden Soekarno saat itu secara garis
besar telah menyeleweng dari Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Sebagai akibat
tindakan Muhammad Natsir dan tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota
Masyumi, mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Muhammad Natsir
dikirim ke Batu, Malang (1962-1964), Syafruddin Prawiranegara dikirim ke Jawa
Tengah, Burhanuddin Harahap dikirim ke Pati, Jawa Tengah, dan Sumitro
Djojohadikusumo dapat lari ke luar negeri. Partai Masyumi dibubarkan pada
tanggal 17 Agustus 1960. Muhammad Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966
setelah Pemerintahan Orde Lama digantikan oleh Pemerintahan Orde Baru.
Muhammad Natsir |
Tatkala
Pemerintahan Orde Baru muncul, Muhammad Natsir tidak mendapat tempat dan
kedudukan dalam pemerintahan. Muhammad Natsir tidak diajak oleh Pemerintahan
Orde Baru untuk ikut bersama memimpin Negara yang baru saja muncul. Padahal,
kalau dilihat dari segi kredibilitas dan kemampuan-kemampuannya sebagai seorang
birokrat/negarawan, sebenarnya tidak diragukan lagi. Apakah Pemerintahan Orde
Baru mencurigai Muhammad Natsir karena pada masa Orde Lama dengan gigih memperjuangkan
Islam sebagai Dasar Negara RI, ataukah yang dilakukannya itu dianggap sebagai
suatu cacat politik yang masuk dalam daftar hitam (black list)? Hanya
Tuhanlah Yang Maha Tahu.[2]
Di era Orde Baru, sebagaimana para pemimpin Masyumi
lainnya, Muhammad Natsir berharap agar pemerintah memberi angin sejuk buat umat
Islam. Juga, merehabilitas Masyumi, sebuah partai politik Islam yang
membubarkan diri pada Agustus 1960. Tapi rupanya, Presiden Soeharto menjadi
ketakutan bila Masyumi bangkit, kekuatan Islam akan bisa menguat. Dan itu akan
membahayakan posisinya sebagai presiden. Bahkan tokoh-tokoh Masyumi yang akan tampil ke gelanggang politik praktis, dihadang.
Muhammad Natsir menyadari betul masalah tersebut. Pada
tahun 1967, ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), sebagai medan juangnya.
Lewat DDII inilah Muhammad Natsir yang juga pernah menduduki jabatan di
berbagai organisasi Islam dunia seperti World Muslim Congress, Rabitah Alam
Islamy (1969), Anggota Dewan Masjid Sedunia, mendidik calon-calon juru dakwah
dan mengirimnya ke seluruh pelosok Indonesia.
Lewat
DDII pula karya Muhammad Natsir tak terhingga bilangannya. Ratusan masjid dan
ribuan ustadz telah ia kader. Semangatnya hanya satu, api Islam tak boleh
padam. Dimana pun dan kapan pun, seorang muslim mesti bermanfaat untuk
lingkungannya.[3]
Keharuman nama Muhammad Natsir juga merebak di luar
negeri karena berbagai kegiatan dakwah Islam internasionalnya. Pada tahun 1956,
bersama Syekh Maulana Abul A’la Al Maududi (Lahore) dan Abu Hasan An-Nadawi
(Lucknow), Muhammad Natsir memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di
Damaskus. Ia juga menjabat Wakil Presiden Kongres Islam Sedunia yang berpusat
di Pakistan dan Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi. Pada tahun yang
sama, ia menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekkah.
Muhammad Natsit |
Di dunia internasional, Muhammad Natsir dikenal karena
dukungannya yang tegas terhadap kemerdekaan bangsa-bangsa Islam di Asia dan
Afrika dan usahanya untuk menghimpun kerja sama antara negara-negara muslim
yang baru merdeka. Karena itu tidak berlebihan jika Dr. Inamullah Khan
menyebutnya sebagai salah seorang tokoh besar dunia Islam abad ini. Sebagai
sesepuh pemimpin politik, Muhammad Natsir sering dimintai nasihat dan
pandangannya, bukan saja oleh tokoh-tokoh PLO (Palestine Liberation
Organisation) mujahidin Afganistan, Moro, Bosnia dan lainnya, tetapi juga
oleh tokoh-tokoh politik di dunia yang bukan muslim seperti Jepang dan
Thailand.
Sebagai penghormatan terhadap pengabdian Muhammad Natsir
kepada dunia Islam, ia menerima penghargaan internasional berupa Bintang
Penghargaan dari Tunisia dan dari Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980). Di
dunia akademik, ia menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam
Lebanon (1967) dalam bidang Sastra, dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan
Universitas Saint Teknologi Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam.
Terlepas dari pro dan kontra, jalan pemikiran Muhammad
Natsir yang dituangkan dalam karya berbagai karya ilmiah, menjadi catatan
sejarah bagi khazanah Islam di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Indonesia di
abad ke-20 telah memiliki tokoh-tokoh muslim bertaraf nasional dan
internasional, satu di antaranya siapa lagi kalau bukan Muhammad Natsir.
Muhammad Natsir. (foto: persisalamin.com) |
Tokoh politik dan intelektual muslim ini menikah dengan
Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934 di Bandung. Dari pernikahan ini, mereka
memperoleh enam orang anak, yaitu : Siti Muchlisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah
(29 April 1937), Asma Farida (17 Maret 1939), Dra. Hasnah Faizah (5 Mei 1941),
Dra. Asyatul Asryah (20 Mei 1942), dan Ir. Ahmad Fauzi (26 April 1944).
Sangat disayangkan, dari keenam putra/putri beliau ini
tidak satu pun yang mengikuti jejak sang ayah yang kaliber itu. Ternyata banyak
orang justru menyebut Nurcholis Madjid, pembaharu pemikiran Islam pada akhir
abad ke-20 ini, sebagai Muhammad Natsir Muda. Perjalanan panjang Muhammad
Natsir meniti karier perjuangannya yang penuh risiko ini, tidak pernah
melunturkan semangatnya terhadap perjuangan Islam melalui gerakan dakwahnya.[4]
*Penulis: Yuliana
0Comments