Salah satu pelopor besar dalam hal perjalanan internasional dan pelaporan budaya, Ibnu Battutah dikenal sebagai Pelancong Islam yang memegang rekor perjalanan keliling dunia lebih dari tujuh puluh lima ribu mil sampai terciptanya mesin uap pada abad kedepatan belas masehi.
Muhammadbin Ahmad bin Jubayr bukan hanya salah seorang pengeliling dunia paling terkenal didunia islam, melainkan juga salah satu pelancong besar Eropa Abad pertengahan. Dia meninggalkan Spanyol Islam dan melakukan perjalanan kesuluruh wilayah Timur Islam (Termasuk Mesir,Saudi,Suriyah), sebelum akhirnya pulang untuk mencatat pandangan dan pengalamannya di negeri-negeri tersebut dalam bentuk memoar-meoar ini kemudian menjadi terkenal, baik di Timur atau di Barat.
Muhammadbin Ahmad bin Jubayr bukan hanya salah seorang pengeliling dunia paling terkenal didunia islam, melainkan juga salah satu pelancong besar Eropa Abad pertengahan. Dia meninggalkan Spanyol Islam dan melakukan perjalanan kesuluruh wilayah Timur Islam (Termasuk Mesir,Saudi,Suriyah), sebelum akhirnya pulang untuk mencatat pandangan dan pengalamannya di negeri-negeri tersebut dalam bentuk memoar-meoar ini kemudian menjadi terkenal, baik di Timur atau di Barat.
Satu
abad kemudian Marco Polo, seorang pedang dan petualang ternama asal Venesia,
melancong ke seluruh Eropa dan Asia. Selain Bagdad, dia mengunjungi China,
tempat dia dikabarkan melayani Kubilai Khan, sang penguasa terkenal
Mongol,selama beberapa waktu, sebelum kembali ke Vanesia pada tahun 1295. Dia
kemudian menulis sebuah catatan detail tentang semua perjalanan dan
pertualangannya yang terus dibaca secara luas sampai hari ini.
Baik
Ibnu Jubayr maupun Marco Polo merupakan para pelancong besar yang melakukan
perjalanan jauh yang dianggap tidak normal pada masa itu. Satu tahun setelah
kematian Marco Polo, seorang pemuda Muslim Afrika Utara berpergian menemukan
dunia, melakukan perjalanan ke bagian-bagian dunia yang terkenal pada waktu itu
dengan berjalan kaki, mengendarai keledai, dengan manaiki kapal. Dengan
melakukan itu, dia mungkin menjadi pelancong terbesar dalam sejarah manusia. Si
pengeliling dunia yang tidak pernah mengenal rasa takut, gigih, dan insfiratif
itu tidak lain adalah Ibnu Battutah.
Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Luwati-lebih dikenal
sebagai Ibnu Batuttah-lahir di Tangier (saat ini Maroko) dari sebuah keluarga
dan terpelajar Ibnu Battutah mempelajari bahasa Arab,sastra,dan ilmu-ilmu islam
tradisional ditahun-tahun pertamanya. Karena ayah dan paman nya merupakan ulama
dan anggota paradial local yang ternama, dia juga menerima pelajarn lanjutan
dalam bidang fiqih. Didoring ayahnya untuk mengikuti jejaknya sebagai
pengacara, Ibnu Batutah menyelesaikan pendidikan formalnya dalam ilmu-ilmu
keagamaan dengan focus pada fiqih sebelum dia memutuskan pergi ke Makkah untuk
menunaikan Ibadah Haji.
Baru
berusia dua puluh tahun pada saat itu, Ibnu Batutah sangat ingin melakukan
perjalanan panjang dan sulit ke Makkah dalam rangka melaksanakan rukun Islam
kelima. Di sana, dia juga sekaligus melanjutkan pendidikan tinggi dalam bidang
fiqih dengan harapan meningkatkan peluangnya memperoleh jabatan peradilan yang
penting sekembalinya ke Tangier.
Pada
tahun 1325, Ibnu Battutah meninggalkan keluarganya dan berangkat ke Makkah.
Pada masa itu, perjalanan dari Afrika Utara ke kawasan Arabia dilakukan dengan
kabilah sering memakan waktu berbulan-bulan (bahkan bisa lebih lama), serta
senantiasa penuh bahaya, penderitaan, dan halangan, Namun, Ibnu Battutah yang
pemberani dan gigih berangkat sendirian.
Ibnu Battutah Petualang Muslim |
Sesampainya
di Tripoli (Libya saat ini), Ibnu Batutah menikah untuk pertama kalinya.
Namun, pernikahan itu segera berakhir dengan perceraian karena sengketa sangit
anra Ibnu Batutah dan ayah mertuanya. Tak terpengaruh oleh pengalaman
baruknya, dia menikah untuk kedua kalinya dan merayakannya sengan pesta yang
mewah.
Pada
bulan April 1326, Ibnu Batutah
riba di Alexandria bersama kafilah haji dan bertemu seorang darwis
sufi (mistikus islam) yang meramalkan bahwa suatu hari dia akan melakukan
perjalanan mengililingi dunia. Sebelum berjumpa dengan sufi itu, dia tidak
berniat untuk berpergian kemana pun, selain Makkah dan Madinah. Akan tetapi,
kini ide dan kemungkinan untuk menjelajahi dunia benar-benar membuatnya terpesona.
Demi
menyelesaikan ibadah haji, Ibnu Batutah meninggalkan Alexandria dengan menaiki
kapal dan tiba di kairo pada bulan juli 1326. Dia tidak hanya berjalan-jalan di
kairo , tetapi juga melakukan sebuah survey dan deskripsi yang rinci mengenai
kota bersejarah ini. Dia menyukai apa yang dia lihat dan memutuskan untuk terus
melakukan perjalanan.
Dari
Kairo, Ibnu Battutah melintasi gurun tandus dan mengunjungi Gaza, Habron,
Batlehem, dan Yarusalem. Saat tinggal di Yarusalem, dia mengunjungi Mesjid
al-Aqsa dan Kubah Batu (Qubbat al-sakhra) yang merupakan situs paling
suci ketiga dalam dunia islam. Dia sangat gembira menyaksikan keindahan dan
keagungan masjid tersebut.
Setelah
mengelilingi Palestina, Ibnu Battutah melanjutkan perjalanan ke Suriah,
mengunjungi Aleppo dan Antaknya (Antioch), sebelum akhirnya tiba di Damaskus
pada bulan Agustus 1326. Seperti pendahuluannnya yang tersohor, Ibnu Jubayr,
dia menilai damaskus sebagai sebuah kota yang sangat indah. Dia mengaku bertemu
dengan salah satu warga paling terkemuka di kota itu, Syaikh al-islam
Ibnu Taimiyah, seorang pemikir besar islam.
Namun
menurut para sejarawan, Ibnu Battutah tidak mungkin bertemu Ibnu Taimiyah
karena Taimiyah di penjara sebulan sebelum kedatangan Ibnu Battutah di
Damaskus. Oleh karena itu, dia tampaknya membuat kesalahan kronologis. Jika
bukan keslahan factual dalam hal ini. Yang jelas, dia menetap di Damaskus untuk
beberapa saat dan menghadiri ceramah-ceramah para cendekiawan terkemuka.
Sebagai
orang yang mempelajari islam secara tekun, Ibnu Battutah memperoleh sertifikat
dalam bidang ilmu-ilmu islam tradisional. Di damaskus dia juga menikah untuk
ketiga kalinya. Namun sebulan kemudian dia meninggalkan Damaskus dan berangkat
menuju kota Rasulullah, Madinah, melalui Tabuk. Sesampinya di Madinah, dia
langsung menuju Mesjid Nabawi untuk memberi penghormatan kepada Rasulullah dan
pada para sahabat dekatnya, Abu Bakar AL-Siddiq dan Umar bin Khattab.
Setelah
empat hari berdoa dan beribadah, Ibnu Battutah pergi ke Makkah untuk menunaikan
Ibadah Haji lagi, dengan penuh suka cita dan bahagia, iya menyelesaikan proses
ibadah Haji. Kemudian pada bulan November 1326, dia meninggalkan Makkah bersama
Khafilah dan segera tiba di Irak (termasuk Najaf, Basrah, Bagdad, Kufah, Mosul,
dan wilayah selatan bagian Persia), dia kembali ke Makkah bersama Kafilah haji.
Selama di Makkah, dia mencurahkan sebagaian besar untuk melakukan shlat dan
aktivitas-aktifvitas bagian Haji lainnya. Dia pun merampungkan ibadah haji
ketiganya secara beruntun.
Setahun
kemudian, Ibnu Battutah melakukan ibadah hajinya yang ke empat dan memperoleh
sertifikat dalam bidang studi-studi islam lanjutan. Memilih untuk tidak pulang
ke Tangier, dia memutuskan untuk melakukan perjalanan keliling dunia, baru
berusia 26 tahun waktu itu. Dia meninggalkan Makkah dan berlayar ke Yaman untuk
mengunjungi San’a dan Aden. Kemudian dia melanjutkan perjalanan ke Oman, sebuah
negri nan subur yang dipenuhi pepohonan, tanaman, dan segala macam buah dan
sayuran.
Dari
Oman, Ibnu Battutah berpindah ke Hormuz dan Bahrain, dan akhirnya kembali ke
Makkah untuk melaksanakan ibadah Haji kelima pada tahun1332. Setelah
menyelesaikan ibadah haji, dia memutuskan untuk pergi ke India dan melihat
Negri Sultan Muhammad bin Tughluq untuk pertama kalinya.
Dari
Makkah, Ibnu Battutah pergi menuju Yaman dengan harapan bisa menaiki kapal yang
berlayar menuju India. Dalam jalan sebelumnya ke Yaman, para penduduk setempat
memberi tahu Ibnu Battutah bahwa kuda turunan asli dikirim secata rutin dari
Yaman ke India. Inilah yang mendorongnya untuk pergi ke India dengan menaiki
kapal.
Namun,
rencananya tidak berjalan yang seperti diharapkan. Dia justru mengambil rute
sulit menuju Ladhiqia melalui Kairo, Suriah, serta kota-kota di Palestina(Gaza,
Habron, dan Yerusalem). Di sini dia beruntung menaiki kapal Genoa dengan rute
menuju wilayah Turki Kuno, Anatalia, setelah sepuluh hari sepuluh malam di
lautan, Ibnu Battutah yang kelelahan akhirnya tiba di Anatolia. Dia disambut
hangat oleh penduduk setempat meskipun tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun
dalam bahas Turki.
Dari
Anatolia, Ibnu Battutah melanjutkan perjalanan ke Konya, tempat mausoleum
pemikir Sufi dan penyair besar Mawlana Jalaluddin Rumi, yang ketika itu telah
menjadi pusat kegiatan-kegiatan sufi yang penting. Dari Konya, dia menuju
Amasya dan merakyakan perayaan islam tahunan Idul Adha (Hari Raya Kurban)
bersama gubernur kota itu. Dia selanjutnya menuju Kaukasus, negri yang di
perintah oleh Sultan Muhammad Uzbeg Khan dari Golden Horde.
Namun,
cuaca dingin dan lingkungan Kaukasus yang keras mendorongnya untuk melanjutkan
perjalanan ke ibukota Greater Bulgaria. Dari sana, Ibnu Battutah pergi ke
ibukota Kuno Konstatinopel ( sekarang Istanbul), sambil ditemani istri ketiga
Sultan Muhammad Uzbeg Khan. Tidak seperti menetap di Kaukasus, masa tinggalnya
di Konstantionepel terbukti sangat bermanfaat. Paling tidak karena dia bisa
mengelilingi seluruh kota, serta memberikan pengamatan dan deskrepsi mendetail
tentang segala sesuatu yang disaksikannya.
Rute Penjelajahan Ibnu Battutah pada tahun 1332 setelah dari Kulwa. |
Namun,
menurut sejumlah sejarawan, Ibnu Battutah tidak mengunjungi semua tempat
sebagaimana yang disebutkan dalam buku Rihla (perjalanan). Tidak
ada pembaca Misalnya tentang deskrepsinya mengenai Sarai, ibukota Dinasti Tatar
yang merasakan bahwa itu adalah seorang saksi mata saja. Lebih dari itu,
catatan perjalanan Ibnu Battutah di Asia kecil telah dibuktikan dan diperkuat
oleh sumber-sumber sejarah lainnya.
Dari
Sarai, Ibnu Battutah melakukan perjalanan melalui Khawarizm, Khiva, Bukhara,
Samaeqand, dan Balkh, sebelum sampai di provinsi bersejarah Khurasan. Dari
sini, dia pergi menuju Kabul, ibukota Afghanistan modern. Pada bulan September
1333, pada usia 29 tahun, dia akhirnya sampai di perbatasan India.
Setelah
menyebrangi Sungai Indus, Ibnu Battutah pergi menuju Multan dan disambut hangat
oleh gubernurnya. Dari sana, dia berangkat ke Delhi, ibukota megah Muslim
India, dan bergabung dalam jajaran pemerintah sipil Sultan yang berkuasa.
Namun, mengingat pendidikannya yang hebat dan pengetahuannya yang luas tentang
hukum islam, para elite penguasa dalam pemerintahan Sultan tak hanya sangat
cemburu kepadanya, tetapi juga mulai berkomplot untuk memusuhinya.
Ibnu Battutah
cukup lama menetap di India dan berkeliling ke seluruh pelosok negri itu. Dia
dengan seksama mengamati kebudayaan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat setempat. Selain Abu Raihan Al-Biruni, ahli astronomi dan ilmuan
Muslim terkenal (penulis Kitab Tarikh al-Hind atau sejarah yang tinggal
lama di India antara tahun 1021 sampai 1031), tidak ada pelancong atau penulis
Abad pertengahan lainya yang memberikan penjelasan yang rinci tentang India
seperti yang dilakukan Ibnu Battutah.
Menurut
sejarawan besar Islam, Ibnu Khaldun, catatan Ibnu Battutah tentang India begitu
rinci, membingungkan, dan bernuansa petualangan, sampai-sampai dia menerima
beragam macam reaksi di Istana Sultan Abu Inan sekembalinya ke Maroko. Ibnu
Battutah mungkin sedikit melebih-lebihkan petualangannya di India. Namun,
bahkan sejarawan kritis seperti Ibnu Khaldun tidak menanyakan kedalaman atau
keaslian catatan-catatan perjalanannya, yang juga didukung oleh sumber-sumber
sejarah India terpercaya lainnya.
Setelah
hampir satu decade di India, kala Ibnu Batuttah akhirnya memutuskan kembali ke
Makkah. Sultan Abu Inan memanggilnya ke istana dan memintanya untuk memimpin
diplomatic kepenguasa Mongol dari China. Tertarik untuk melakukan petualangan
lainnya, dia menerima tawaran Sultan dan berangkat ke Timur jauh.
Perjalanan
melalui daratan India dipenuhi banyak bahaya dan kesulitan. Satu kali Ibnu
Battutah ditawan oleh suku setempat, tetapi untungnya bisa lolos tanpa luka.
Setelah mencapai Kalkuta, dia menaiki sebuah kapal China yang tenggelam begitu
menginjakan kakinya di gladaknya. Dia pun terdampar di pantai.
Akhirnya
Ibnu Battutah tiba di kepulauan Maldivas. Dia tinggal disana selama delapan
belas bulan, menikah untuk ke empat kalinya dan bekerja sebagai seorang qadhi
(hakim Islam), sebelum melanjutkan perjalanan ke Ceylon (Srilanka modern).
Saaat ini deskripsi Ibnu Battutah tentang kepulauan Maldivas dianggap salah
satu catatan perjalanan yang paling rinci dan jelas sepanjang masa. Tidak ada
penulis atau pelancong lain yang mampu melampaui deskripsi dan catatannya
mengenai pulau-pulau dan penduduknya yang menakjubkan itu.
Di
Caylon, Ibnu Battutah berjalan-jalan mengelilingi negri itu. Dia bahakan
mendaki gunung tertinggi, disana dikenal sebagai Adam’s Footprint (jejak
kaki Adam), sebelum berlayar ke Chittagong di Banggala Timur ( saat ini
Bangladesh). Dari Banggala Timur, dia melakukan perjalanan ke Pulau Sumatra di
Indonesia. Dari sana dia menaiki kapal yang membawanya ke China.
Menurut
Ibnu Battutah, China merupakan Negara yang indah dan masyarakatnya sangat baik
dan sopan, Namun, sebagai seorang praktisi Muslim, dia menilai betapa
menjijikannya kebiasaan makan mereka. Dia mencatat bagaimana orang China sangat
menyukai daging Babi. Meskipun hanya tinggal sebentar di China, dia mengamati
kebudayaan, adat istiadat, dan kebiasaan masyarakat China secara langsung. Dari
China, dia kembali ke Sumatra dan kemudian menuju Malabar.
Kini,
dipertengahan usia empat puluh tahun, Ibnu Battutah akhirnya memutuskan pergi kearah barat. Melakukan
perjalanan di Teluk Persia, dia segera sampai di Bagdad, dari sana dia menuju
Suriah dan untuk pertama kalinya dia menyaksikan malapetaka yang disebabkan
oleh wabah mematikan Black Death (Kematian Hitam). Dari Suriah, Ibnu
Battutah pergi ke Makkah melalui Mesir untuk beribadah Haji kesekian kalinya.
Setelah itu, dia kembali ke Mesir dan berlayar dari Alexandria ke Tunis. Dari
sana dia menaiki kapal menuju Aljazar dan tiba dikampung halamannya , Maroko,
pada bulan November 1349.
Setelah
berkeliling dunia, pada tahun 1352 di usia empat puluh delapan tahun, Ibnu
Battutah memulai petualangan lainnya. Dia menyebrangi Selat Gibraltar dan tiba
di Granada. Dari sana, dia kembali ke Maroko dan menyebrangi Gurun Sahara untuk
tinggal sejenak bersama masyarakat Islam Mandingos di Niger. Dia sana dia
terkejut melihat rumah-rumah penduduk setempat yang dibangun dengan garam
padat. Saat ini, catatan-catatan perjalanannya ke Niger dan Timbuktu dianggap
sebagai sumber sejarah dan budaya Afrika Abad pertengahan yang tak ternilai
harganya.
Ibnu
Battutah akhirnya pulang ke Fez pada usia lima puluh tahun. Atas perintah
kerajaan, dia mendiktekan Rihla ( catatan perjalanan) miliknya kepada
sekretaris pribadi Sultan Abu Inan, Muhammad Juzzayy. Rihla Ibnu
Battutah itu kemudian diberi judul Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa
Aja’ib al-Asfar( sebuah pelajaran bagi pengamat yang Ingin mengetahui
Keajaiban-keajaiban Kota dan kejutan-kejutan Perjalanan). Ibnu Battutah
menghabiskan dua puluh empat tahun berikutnya di Fez. Selama priode ini, dia
juga menjabat sebagai seorang hakim dan akhirnya meninggal dunia pada usia
tujuh puluh empat tahun.
Dikenal
luas sebagai ‘Pelancong Islam‘ Ibnu Battutah melakukan perjalanan lebih dari
tujuh puluh lima ribu mil dan melakukannya sendirian. Dia mencapai prestasi
yang belum pernah terjadi ini pada saat perjalanan jauh merupakan sesuatu yang
tidak bebas dari mata bahaya. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan untuk
mengatakan bahwa dia merupakan salah satu pelopor besar dalam hal perjalanan internasional
dan pelaporan kebudayaan.
Rekor
perjalanan sejauh tujuh puluh lima ribu mil tidak terpecahkan sampai mesin uap
diciptakan pada abad ke -18. Berkat Sir Hamilton A.R. Gibb, penerjemah Bahasa
Arab asal Inggris yang mahsyur, Rihla ciptaannya kini tersedia dalam bahasa
Inggris. Kenyataannya, sejak tahun 1929, Sir Hamilto menerbitkan edisi ringkas Rihla
dengan judul The Traveles of Ibnu Battutah (perjelanan perjalanan Ibnu
Battutah), yang dibaca secara luas sampai hari ini.[1]
Setelah
mengunjungi banyak tempat sebelumnya, kemudian Ibnu Battutah tiba di pulau
Maledewa memalui jalur Pantai Malabar dan selanjutnya terus menyebranng ke
Srilanka. Ibnu battutah masih terus melanjutkan perjalannya.
Setelah
beberapa lama dan berada dalam perjalanan yang penuh bahaya, akhirnya Ibnu
Battutah tiba di Turki melalui selatan Ukraina.
Lukisan Ibnu Battutah |
Dalam
perjalanan Ibnu Battutah. Ibnu Battutah menghadirkan vista (Pemandangan) utuh
dunia Islam abad 14. Saat itu, islam merantang dari laut Anlantik sampai China,
dari ujung selat Bosphorus hingga Samudrea Hindia, dari jalur sutera China
hingga Aceh, Laut Tengah, Laut Midetarian, Maroko.
Jasa
Ibnu Battutah bagi sejarah islam terbilang luar biasa. Para sejarawan, ulama,
penguasa Tokoh-tokoh agung dalam dunia islam memang mampu mengangkat panggung
sejarah islam yang gilang-gemilang (dimasa lampau).
Tiga
puluh tahun petualangan. Empat puluh empat Negara ( di tempat banua). Tujuh
puluh tiga ribu mil jarak tempuh. Dan empat kali bolak balik berhaji ke Makkah.
Atas semua itu, dunia barat menyebutnya sebagai Marcopolo kedua.
Dunia
Islam tempat ia tumbuh dan melakukan petualangan plus pengabdian mengenangnya
dengan Takzim. dan Ibnu Batutah bukan orang Islam pertama yang menempuh
pelayaran panjang. Tetapi ia adalah primus inter peres (yang terbaik diantara
yang lainnya. Lagipula ia bukan seorang pelancong atau pedang yang berlayar
karena motivasi bisnis atau kesenangan. Jauh melampaui itu, beliau tiap kali
menjejakan kaki dibumi yang dituju, selain berburu kepada ulama yang hebat,
bukan sekali dua kali, justru Ibnu Battutah diminta oleh para penguasa setempat
menjadi Guru, Hakim, Ulama, Qadhi. [2]
Muhammad
bin Abdullah bin Muhammad bin Batutah adalah seorang pengembara (traveler),
petualnagan (adventure), dan pengamat (viewer) yang membuat catatan harian
tentang negeri-negeri yang ia kunjungi dalam pengembarany, dan ia mengunjungi
berbagai belahan dunia, kemudian mengamati kebudayaan, adat istiadat, dan
perilaku masyarkat di negeri-negeri yang ia kunjungi, terutama wilayah yang
dipimpin oleh kesultanan islam.
Dan Ibnu
Batutah sendiri menyebut hasil karyanya ini sebgai persembahan seorang
pengamat tentang kota-kota asing dalam perjalanan yang menakjubkan, yang ia
tuangkan dalam sebuah catatan perjalanan.[3]
Penulis: Ima Rahmalina
[1]Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling berpengaruh sepanjang sejarah (Jakarta 2012:
Noura Books, Hal 367-375).
[2]Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battutah, seoeang musafir Muslim Abad 14 (Jakarta
2011: Yayasan Obor, Hal 235-236).
[3]Muhammad. Abdullah, Rihlah Ibnu Battutah (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Hal 143-144).
0Comments