Pada Masa Ustman bin Affan
Nama panjangnya adalah Ustman ibn Affan ibn Abi al-‘Ash
al-Quraisyi. Dia dilahirkan di Thaif lima tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad
saw. Dia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang mewah karena ayahnya adalah
seorang saudagar yang kaya raya, memiliki armada dagang yang sangat besar yang
kerap pulang-pergi dari Arab ke Syiria. Setelah ayahnya meninggal dunia semua
harta kekayaannya jatuh ketangan Ustman dan menjadikannya seorang pedagang
besar yang amat sibuk sehingga kadang melupakan akan kehidupan rohani.
Ustman termasuk para sahabat yang mula-mula masuk Islam. Dialah
yang menjadi sekretaris Rasulullah untuk menuliskan setiap wahyu yang turun.
Dia terkenal saleh dan jujur dalam agama. Dia disayangi Rasulullah saw.
sampai-sampai dinikahkan dengan anaknya yang bernama Ruqayyah, umur pernikahan
ini tidak lama karena Ruqayyah meninggal dunia, dan Ustman merasa sangat sedih.
Kesedihan Ustman ini sampai kepada Rasulullah saw dan menanyakan sebabnya.
Akhirnya beliau mengetahi sebabnya ialah, karena betapa besar cinta kasih
Ustman pada Ruqayyah. Rasulullah mengawinkan lagi dia dengan adik Ruqayyah yang
bernama Umm Kalsum. Dengan mengawini dua anak Rasulullah ini, Ustman mendapat
gelar zu al-nurain.
Ustman juga merupakan salah seorang yang ikut hijrah ke Habsyi kala
itu. Dia diperintahkan Nabi turut hijrah ke Habsyi untuk menghindari kecaman
dan circaan orang-orang Quraisy yang semakin sadis. Oleh karena itu dia juga
mendapat gelar zual-hijratain[1].
Proses Pengangkatan dan Gaya
Kepemimpinan Ustman bin Affan
Khalifah Umar bin Khattab meninggal dunia karena ditikam oleh Abu
Lu’lu saat menjadi Imam Salat Shubuh. Abu Lu’lu adalah seorang munafik
berkebangsaan Persia yang tidak mau patuh pada Khalifah. sebelum wafat,
Khalifah Umar bin Khattab membentuk dewan yang beranggotakan enam orang sahabat
yang saat itu dianggap paling tinggi tingkatannya, yang bertugas memilih salah
seoarang diantara mereka untuk menjadi Khalifah yang kelak menjadi
penggantinya. Keenam anggota dewan itu adalah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bi Auf, Ibnu Umar, dan
Sa’ad bin abi Waqas. Ketua dewan dipegang oleh Abdurrahman bin Auf.
Setelah dimusyawarahkan dirumah Abdurrahman bin Auf, akhirnya
mayoritas suara memilih Ustman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin
Khattab. Ustman bin Affan dilantik menjadi Khalifah pada hari ketiga setelah
wafatnya Umar bin Khattab.
Setelah dibaiat, Ustman berkhutbah didepan kaum Muslimin:
“ Sesungguhnya kalian berada di tempat sementara, dan perjalanan
hidup kalian pun hanya untuk menghabiskan umur yang tersisa.bergegaslah sedapat
mungkin kepada kebaikan sebelum ajal datang menjemput. Sungguh ajal tidak
pernah sungkan datang sembarangan waktu dan keadaan, baik siang maupun malam.
Ingatlah sesungguhnya dunia penuh dengan tipu daya. jangan kalian terpedaya
oleh kemilau dunia dan janganlah kalian sekali-kali melakukan tipu daya kepada
Allah. Sesungguhnya Allah tudak pernah lalai dan melalaikan kalian.”[2]
Kebijakan dan Starategi
Ustman bin Affan
Saat terpilih menjadi Khalifah, Ustman telah berusia 70 tahun.
Beliau menjadi Khalifah selama 12 tahun. Selama masa pemerintahannya, beberapa
prestasi menonjol yang berhasil diraih adalah sebagai berikut.
1) Kodifikasi Mushaf Al-Qur’an
Seperti sudah kamu ketahui, usaha kodifikasi ( pembukuan )
Al-qur’an sudah dimulai sejak masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq. Ayat-ayat
al-quran yang sudah terkumpul pada masa itu disimpan oleh Hafsah binti Umar,
salah satu istri Rasulullah saw. pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin
Affan, wilayah islam sudah sangat luas. Hal itu menimbulkan kekhawatiran akan
terjadinya perbedaan pembelajaran al-Qur’an di beberapa pelosok wilayah.
Perbedaan itu meliputi susunan surah-surahnya atau lafal (dialek) nya.
Pada masa Rasulullah saw, perbedaan tersebut diberi kelonggaran.
Saat itu beliau masih memberi kemudahan agar Al-Qur’an dapat dihafal dengan
cepat oleh semua umat Islam. ketika wilayah Islam makin luas, perbedaan dialek
satu daerah dengan daerah lainnya makin terlihat. Salah seorang sahabat yang
bernama Huzaifah bin Yaman melihat perselisihan antara tentara Islam ketika
menaklukan Armenia dan Azerbaijian. Masing-masing pihak menganggap cara membaca
Al-Qur’an yang dilakukannya dalah yang paling baik.
Perselisihan tersebut kemudian dilaporkan oleh Huzaifah bin Yaman
kepada Khalifah Ustman bin Affan. Selanjutnya, Khalifah Ustman bin Affan
membentuk sebuah panitia penyusun Al-Qur’an. Panitia ini diketuai oleh Zaid bin
Sabit. Anggotanya adalah Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris. Tugas
yang harus dilaksanakan oleh panitia tersebut adalah menyalin ulang ayat-ayat
Al-Qur’an dalam sebuah buku yang disebut Mushaf. Penyalinan tersebut harus
berpedoman kepada bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur’an. Apabila terdapat
perbedaan dalam pembacaan, yang ditulis adalah yang berdialek Quraisy.
Salinan kumpulan Al-Quran itu disebut al-Mushaf. Oleh panitia,
al-Mushaf diperbanyak sejumlah empat buah. Sebuah tetap berada di Madinah,
sedangkan empat lainnya dikirimkan ke Mekkah, Suriah, Basra, dan Kufah. Semua
naskah Al-Quran yang dikirimkan ke daerah-daerah itu dijadikan sebagai pedoman
dalam penyalinan berikutnya di daerah masing-masing. Naskah yang ditinggal di
Madinah disebut Mushaf al- Imam atau Mushaf Usmani. Adapun naskah yang berbeda
dengan Mushaf al- Imam dinyatakan tidak berlaku lagi. Walaupun demikian
perbedaan bacaan Al-Quran masih ditemukan hingga kini. Hal ini diperbolehkan
apabila bacaan-bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
2) Renovasi Masjid Nabawi
Masjid Nabawi yang mulai dibangun pada masa Khalifah Umar bin
Khattab diperluas oleh khalifah Ustman bin Affan. selain diperluas, bentuk dan
coraknya juga diperindah.
3) Pembentukan Angkatan Laut
Pada masa Khalifah Ustman bin Affan, wilayah Islam sudah mencapai
Afrika, Siprus, hingga Konstantinovel. Wilayah-wilayah itu banyak diliputi
lautan. untuk menjaga wilayah-wilayah tersebut, Mu’awiyah bin Abu Sofyan yang
waktu itu menjabat Gubernur Suriah mengusulkan dibentuknya angkatan laut. Usul
itu disambut baik oleh Khalifah Ustman bin Affan. Dalam perkembangannya,
angkatan laut itulah yang kelak akan membawa misi dakwah Islam hingga kedaratan
Eropa bahkan sampai ke Indonesia.
4) Perluasan Wilayah
Pada masa Khalifah Ustman bin Affan, wilayah Islam makin luas.
Wilayah Azerbaijian berhasil ditaklukan pasukan muslim dibawah pimpinan Said
bin As dan Huzaifah bin Yaman. Wilayah Armenia dapat ditaklukan oleh Salam bin
Rabi’ah al-Bahry. Sebagian besar rakyat Armenia saat itu menyambut kedatangan
tentara Islam dengan sukacita. Pada umumnya, mereka lebih suka berada dibawah
pemerintahan Islam daripada dikuasai Kekaisaran Romawi.[3]
Masa
Pemerintahan Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib lahir pada hari Jumat tanggal 13 Rajab di kota
Mekah sekitar tahun 600 Masehi. Ia lahir dari pasangan Abu Tahlib bin Abdul
Muthalib dan Fatimah binti Asad. Ketika lahir, ibunya memberi nama Haidar yang
artinya singa. Namun, ayahnya lebih suka memberi nama Ali yang berarti tinggi
dan luhur. Abu Thalib adalah kakak Abdullah, ayah Nabi Muhammad saw. Jadi, Ali
dan Nabi Muhammad saw. adalah saudara sepupu.
Sejak kecil Ali bin Abi Thalib hidup serumah dengan Nabi Muhammad
saw., dan berada di bawah asuhannya. Ketika dalam asuhan sepupunya inilah Ali
mendapat cahaya kebenaran, yakni Islam. Keputusan ini dilakukan ketika Ali
masih kecil, ketika umurnya baru 10 tahun. Secara keseluruhan, secara
keseluruhan, dia adalah orang ketiga orang yang memeluk Isam dan yang pertama
dari golongan anak-anak[4].
Kepribadian Ali bin abi
Thalib
Di bawah asuhan Rasulullah, Ali tumbuh berkembang. Segala kebaikan
perilaku diajarkan oleh Nabi kepada sepupunya. Ali tumbuh menjadi pemuda
cerdas, tegas, lembut hati, sangat pemurah, teguh pendirian, dan pemberani. Ia
adalah seorang perwira yang tangkas dan tak ada yang yang meragukannya. Berkat
keperwiraannya tersebut Ali mendapat julukan Asadullah, yang artinya singa
Allah. Meskipun tegas dan keras dalam setiap pertempuran, namun Ali memiliki
sifat penyayang yang luar biasa. Ali tak pernah membunuh lawan yang sudah tidak
berdaya. Bahkan, ia pernah tak jadi membunuh musuhnya dikarenakan sang musuh
meludahinya. Hal itu ia lakukan karena takut jika ia melakukan suatu tindakan
karena nafsu amarahnya.
Ali hampir tidak pernah absen dalam mengikuti peperangan bersama Rasulullah,
seperti Perang Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, Tabuk, dan pembebasan kota Mekah.
Sepeninggal Nabi saw., Ali menjadi tempat para sahabat meminta pendapat. Begitu
terhormat posisi Ali di mata umat Islam. Bahkan Abu Bakar, Umar, Utsman ketika
menjabat sebagai khalifah tidak pernah mengabaikan nasihat-nasihat Ali[5].
Proses Pengangkatan dan Gaya
Kepemimpinan Ali bin abi Thalib
Pada akhir masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan, terjadi
fitnah besar di kalangan kaum muslimin di beberapa daerah, terutama di Basrah,
Mesir, dan Kufah. Fitnah-fitnah tersebut sengaja disebarkan oleh kaum munafik
yang dipimpin Abdullah bin Saba’. Fitnah tersebut berhasil menghasut beberapa
pihak untuk memberontak dan menuntut mundurnya Khalifah Utsman bin Affan.
Dalam masa kritis tersebut, beliau tetap tidak mau menggunakan
pengawalan khusus yang ditawarkan para sahabatnya. Suatu ketika, para
pemberontak berhasil menyerbu rumah Khalifah Utsman bin Affan dan membunuhya.
Saat kejadian itu, Khalifah Utsman bin Affan sedang menjalani puasa sunah dan
membaca Al-Qur’an. Malam hari sebelum terbunuh, beliau bermimpi bertemu dengan
Rasulullah saw. Dalam mimpinya, Rasulullah saw. meminta beliau untuk berpuasa
dan besoknya akan berbuka dengan Rasulullah saw. mimpi itu akhirnya menjadi
kenyataan.
Sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan dan dalam kondisi yang masih
kacau, kaum muslimin meminta Ali bin Abi Thalib untuk menjadi Khalifah. Akan
tetapi, ada beberapa tokoh yang menolak usulan tersebut, di antaranya
Mu’awiyyah bin Abu Sufyan. Mereka yang menolak Ali bin Abi Thalib pada umumnya
adalah gubernur atau pejabat yag berasal dari keluarga besar Khalifah Utsman
bin Affan. Mereka menuntut pembunuh Khalifah Utsman bin Affan ditangkap
terlebih dahulu. Setelah itu, barulah masalah pergantian pemimpin dibicarakan.
Sebaliknya, pihak Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa masalah kepemimpinan
sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu. Setelah itu, barulah pembunuh Khalifah
Utsman bin Affan dicari bersama-sama. Perbedaan pendapat tersebut menjadi awal
pecahnya persatuan kaum muslim saat itu. Akhirnya, Ali bin Abi Thalib tetap
diangkat sebagi Khalifah meskipun ada beberapa kalangan yang tidak bersedia
mengakuinya[6].
Kebijakan dan Strategi Ali
bin Abi Thalib
Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintah hanya enam tahun. Selama
masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Pemerintahannya nyaris
tidak pernah stabil.
Semasa pemerintahannya, ia banyak meraih prestasi, di antaranya:
1)Mengganti Pejabat yang Kurang Cakap
Khalifah Ali bin Abi Thalib menginginkan sebuah pemerintahan yang
efektif dan efisien. Oleh karena itu, beliau kemudian mengganti pejabat-pejabat
yang kurang cakap dalam bekerja. Akan tetapi, pejabat-pejabat tersebut ternyata
banyak yang berasal dari keluarga Utsman bin Affan (Bani Umayyah). Akibanya,
makin banyak kalangan Bani Umayyah yang tidak menyukai Khalifah Ali bin Abi
Thalib.
2)Membenahi Keuangan Negara (Baitul Mal)
Setelah mengganti para pejabat yang kurang cakap, Khalifah Ali bin
Abi Thalib kemudian menyita harta para pejabat tersebut yang diperoleh secara
tidak benar. Harta tersebut kemudian disimpan di Baitul Mal dan digunakan untuk
kesejahteraan rakyat.
3) Memajukan Bidang Ilmu Bahasa
Pada saat Khalifah Ali bin Abi Thalib memegang pemerintahan,
wilayah Islam sudah mencapai India. Pada saat itu, penulisan huruf hijaiah
belum dilengkapi dengan tanda baca, seperti kasrah, fathah, dhommah, syaddah.
Hal itu menyebabkan banyaknya kesalahan bacaan teks Al-Qur’an dan Hadis di
daerah-daerah yang jauh dari Jazirah Arab.
Untuk menghindari kesalahan fatal dalam bacaan Al-Qur’an dan Hadis,
Khalifah Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu Aswad ad-Duali untuk
mengembangkan pokok-pokok ilmu nahwu, yaitu ilimu yang mempelajari tata bahasa
Arab. Keberadaan ilmu nahwu diharapkan dapat membantu orang-orang non-Arab
dalam mempelajri sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
4) Kemajuan
di Bidang Pembangunan
Salah satu pembangunan yang mendapat perhatian khusus dari Khalifah
Ali bin Abi Thalib adalah pembangunan Kota Kufah. Pada awalnya, Kota Kufah disiapkan
sebagai pusat pertahanan oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Akan tetapi, Kota Kufah
kemudian berkembang menjadi pusat ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu nahwu, dan ilmu
pengetahuan lainnya.
Pada waktu itu, perselisihan antara pendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin
Abu Sufyan makin membesar. Perselisihan itulah yang menjadi awal berakhirnya
pemerintahan Islam di bawah Khulafaur Rasyidin. Meskian memiliki
kelemahan-kelemahan, para ahli sejarah menyatakan bahwa pemerintahan Islam pada
masa Khulafaur Rasyidin merupakan masa pemerintahan Islam yang paling mendekati
masa pemerintahan Rasulullah saw.[7]
Walaupun Ali telah berusaha dengan sebaik-baiknya,
masih saja timbul ketidakpuasan di kalangan sebagian kaum Muslimin. Bahkan,
Thalhah dan Zubair, sahabat senior , merasa tidak puas karena mnurut mereka Ali
tidak menghukum mereka yang bersalah dalam pembunuhan Ustman, seakan-akan Ali
menutup-nutupinya. Akhirnya mereka menuntut agar maslah itu dituntaskan, tetapi
tidak mendapat jawaban yang pasti.
Akhirnya, mereka pergi ke Mekkah untuk umrah. Di sana
selain mengerjakan umrah mereka menceritakan perihal Ali kepada Aisyah. Kemudian
mereka sepakat untuk mengatur pelaksanaan qishash atas kematian Utsman terhadap pembunuhan yang masih
bersembunyi di tengah-tengah tentara Ali. Lalu mereka berankat ke Basrah untuk
meminta bantuan. Keberangkatan mereka ini diketahui Ali yang dengan segera menyusul mereka dengan
membawa pasukan.
Sebenarnya kedua pihak ini, Ali di satu sisi da
Aisyah, Zubair dan Thalhah di sisi lain, telah menemukan titik damai. Namun sebagian
pasukan yang berada di Basrah sengaja memancing kerusuhan agar perdamaian tidak
tercapai. Akhirnya pecahlah perang yang terkenal dengan Perang Jamal (Perang
Unta). Dinamakan Perang Unta karena Aisyah di dalam perang itu mengendarai
unta. Dalam pertempuran ini pihak Ali mendapat kemenangan Thalhah dan Zubair
tewas terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dipulangkan ke Madinah oleh Ali
sendiri.
Setelah kemenangan in, Ali langsung menetapkan Basrah
dan tepatnya kota Kufah menjadi ibu kota pemerintahan Islam. Dari kota ini jugalah Ali yang akan menyerang
Syiria basis pertahanan Mu’awiyah yang ingkar untuk membaitnya. Bagi orang yang
menolak membaiat berarti telah membangkan dan seorang pembangkang harus
dibunuh.
Sementara itu Mu’awiyah pun telah siap menghadapi
serbuan Ali.Bahkan dia didukung oleh beberapa orang sahabat di Madinah yang
kemudian bergabung bersamanya di Syam (Syiria). Menurut Mu’awiyah tidak ada
kewajiban baiat bagi seseorang apalagi masalah Ustman belum dituntaskan. Hanya
panah dan pedanglah yang menjadi penentu anatara Mu’awiyah dan Ali.
Terjadilah pertempuran di Shiffin, sebuah tempat dekat
Furat dan di sebelah barat Halab. Perang ini berkobar setelah kata sepakat
tidak dapat mempersatukan kedua belah pihak. Pada mulanya pihak Ali hamper
memenangkan pertempuran itu, tetapi dengan kepintaranya, ‘Amr ibn ‘Ash
mengusulkan Mu’awiyah untuk mengangkat mushaf. Setelah para tentaranya
mengangkat mushaf ‘Amr berkata, “Ali inilah itab Allah yang akan menjadi
penengah antara kami dan kalian.”
Pada saat ini di kalangan Ali terjadi perpecahan, yang
satu setuju dengan’Amr dan yang satu lagi ingin meneruskan peperangan yang
kemenangannya telah didepan mata, Ali juga pada awalnya setuju dengan pihak
yang terakhir ini. Akhirnya, Ali mengirim juga wakilnya untuk mendamaikan
keadaan ini. Wakil dari Ali adalah Abu Musa al-‘Asy’ari dan pihak Mu’awiyah
diwakili oleh ‘Amr ibn ‘Ash. Terjadilah di sini yang disebut dengan tahkim,
di Daumah al-Jandal, suatu tempat antara Iraq dan Syam.
Dalam tahkim ini Ali secara licik
dijatuhkan dari jabatannya. Namun, biarpun ia dijatuhkan tetapi jabatan
Khalifah tiadak dilepasnya hingga tahun 40 H/661 M, di saat ia mati dibunuh.
Tidak hanya sampai di situ, di dalam pasukan Ali terjadi perpecahan yang
memuncak, sehingga mereka secara fisik benar-benar memisahkan diri dari pasukan
utama Ali. Mereka ini kemudian diberi nama kaum Khawarij (orang-orang yang
keluar). Sedangkan mereka yang tetap membela Ali, dinamakan kaun Syiah Ali
(kelompok Ali). Bukan sekedar memisahkan diri, kaum Khawarij juga merongrong
pemerintahan Ali. Oleh karena itu, makin beratlah beban yang diemban oleh Ali
dalam menjaga keberadaan pemerintahannya.
Dengan situasi yang bertambah gawat ini,
Mu’awiyahterus melancarkan propaganda untuk menjatuhkan Ali, sementara
Mu’awiyah menyandang gelar Khalifah dan mulai mengubah bentuk pemerintahan
Islam, yang pada masa al-Khaula al-Rasyidin berbentuk demokrasi, menjadi
kerajaan (monarki).[8]
Penulis: Fathriani, Hidayati, Nisa, Nor Safitri
Baca Juga:
Eksistensi dan Peradaban Islam pada masa Khulafaur Rasyidin (Part 1)
[2]Nur Hadi, Ayo Mengkaji Sejarah Kebudayaan
Islam. (Bandung : PT Gelora Aksara Pratama, 2008) hal. 44
0Comments