Kawan-kawan Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani antara lain Syeikh Arsyad Al-Banjari (Martapura), Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Al-Batawi (Jakarta), Dan Dawud Al-Fatani (Patani). Ini generasi sebelum Muhammad Nawawi Al-Bantani (Banten) dan jauh sebelum Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (Padang), Guru K.H. Ahmad Dahlan Dan K.H. Hasyim Asy’ari.[1]

Selain sahabat-sahabatnya seperti yang telah disebutkan, sukar sekali untuk menemukan sahabat-sahabatnya yang lain, tetapi di berbagai tulisan dan karya dapat dijadikan sebagai perbandingan seperti  buku “Sejarah Islam di Indonesia” karya Prof. Tengku Haji Ismail Jakub SH. MA. tertulis:

Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani
Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani
Syeikh Murhaban. Putera Haji Muhammad Saleh, ibunya berasal dari keluarga Ulama Tiro. Setelah beberapa tahun di Aceh, ia menyambung pelajarannya ke Mekkah pada Syeikh Muhammad Saleh Ar-Rais. Kawan-kawannya di Mekkah ialah: Syeikh Muhammad Daud Pattani, Syeikh Ismail Minangkabau dan Syeikh Abdush Shamad Palembang. Namun yang meragukan pada buku tersebut ditulis tahun kewafatan Syeikh Murhaban 1887 M. berarti ia hidup jauh sesudah Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani dan kawan-kawannya.

Kemungkinan Syeikh Ismail Minangkabau menjadi sahabat Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani sangatlah besar, karena keduanya hidup sezaman. Di dalam buku “Kanzul Mu’id” disebutkan bahwa Syeikh Ismail Khalidi Minangkabau pengarang kitab “Kifayatul Ghulam” mempunyai seorang murid yang sangat alim dan mempunyai karya yang banyak, yaitu Syeikh Daud Bin Abdullah Al-Fathani. Namun dari berbagai aspek tidaklah dapat diyakini bahwa Syeikh Daud Bin Abdullah Al-Fathani pernah menjadi murid Syeikh Ismail Minangkabau, yang merupakan kepastian adalah bahwa Syeikh Daud Bin Abdullah Al-Fathani yang paling muda diantara mereka.

Ada seorang lagi ulama besar yang sangat terkenal yang sezaman dengan Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani, yaitu Syeikh Muhammad Nafis bin Idris bin Al-Husain Al-Banjari. Syeikh Muhammad Nafis menjalankan segala kegiatannya di Mekkah, salah satu karyanya yang terkenal ialah kitab tasawuf “Ad-Durr An-Nafis”. Syeikh Muhammad Nafis dapat diyakini sebagai sahabat Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani, karena keduanya sama-sama murid Syeikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samman. Dan keduanya sama-sama mengambil bai’at Thariqat Sammaniyyah kepada pendirinya, yaitu Syeikh Muhammad bin Abdul Karim As-Samman.

Ulama-ulama besar yang sezaman dengan Syeikh Abdush Samad Al-Falimbani memang banyak, namun tidak dapat diyakini apakah mereka bersahabat karib, apakah murid atau tidak, belum ada informasi yang kuat. Di Aceh misalnya ada seorang yang bernama Syeikh Abdullah yang mengarang kitab “Syifaaul Qulub” pada tahun 1225.[2]
Penulis: Mina Norliani

Referensi


[1] A. Suryana Sudrajat, Ulama Pejuang dan Ulama Petualang: Belajar Kearifan Dari Negeri Atas Angin, ( Jakarta: Erlangga, 2006), Hal. 66
[2] KH. Waini Hambali, Manakib Syeikh Abdush Shamad AL-Falimbani, (Kandangan: Sahabat, 2003) Hal. 41-44