Nasab Umar bin Khattab
Di pangkuan bumi Makkah
beserta udaranya yang panas anginnya yang menyengat dan padang pasirnya yang
tandus, empat tahun sebelum perang al-Fijar, lahirlah seorang anak yang bernama
Umar bin Nufail bin Abdul Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin
Adi al Quraisyi.
Umar bin Khattab putra Nufail
al-Adawi, seorang laki-laki yang keberanian besar dan nyali tak kenal gentar,
ibunya adalah Hatamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin
Makhzum, sepupu abu jahal.[1] dari
suku Bani Adi. Sebelum Islam, suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang
terpandang mulia, megah dan berkedudukan tinggi. Umar bin Khattab tidak
termasuk pemeluk Islam pada masa awal. Pada periode Makkah, Umar bin Khattab
merupakan musuh utama umat Islam.[2]
Ciri Fisik dan Karakteristik
Umar bin Khattab
Dia adalah salah satu pemuka
dan tokoh Quraisy serta duta mereka di masa jahiliyah, dimana bila terjadi
persilisihan antara orang- orang Quraisy atau antara orang-orang Quraisy dengan
kabilah lain, maka mereka mengirimnya sebagai duta mereka. Itulah Umar binKhattab di Zaman jahiliyyah, seorang laki-laki yang berbadan tegap, berjiwa
beasr, berhati teguh, tegas dan keras, tidak mengenal pertimbangan dan
kebimbangan jauh dari keraguan dan kepura-puraan, tidak tersesat oleh dorongan
jiwa yang bertentangan dan pendapat-pendapat yang beseliweran, akan tetapi
dirinya adalah satu keutuhan, bila dia begerak, maka potensi-potensi bergerak,
terbentuk dalam satu kepribadian utuh dan general, di mana ada Umar, di sana
ada kepribadiannya, keinginannya, dan manhajnya secara cermat dan tertata,
seolah-olah dia adalah pasukan perang besar yang bergerak dengan langkah kuat
menuju arah yang satu dan tertentu, dengan kepribadian yang unik, tidak
terselip penyimpangan sedikit pun pada kepribadiannya yang tinggi atau kelemahan
pada pandangannya.
Dengan semua inilah Umar bin
Khaththab, seotang laki-laki yang tinggi dan besar tegas dan teguh, keras dan
kokoh, jelas sejelas matahari, yang bila Anda melihatnya, maka Anda dapat
melihat isi hatinya yang tertuang dalam lembaran wajahnya, tidak tertutupi atau
tersembunyi.[3]
Masa Kecil dan Remaja
Semasa anak-anak Umar di
besarkan seperti layaknya anak-anak Quraisy. Yang kemudian membedakannya dengan
yang lain, ia sempat belajar baca- tulis, hal yang jarang sekali terjadi di
kalangan mereka. Dari semua suku Quraisy ketika Nabi diutus hanya tujuh belas
orang yang pandai baca- tulis. Sekarang kita mengatakan bahwa dia termasuk
istimewa di antara teman-teman sebayanya. Orang-orang Arab masa itu tidak
menganggap pandai baca-tulis itu suatu keistimewaan, bahkan mereka malah
menghindari anak-anaknya dari belajar.
Sesudah Umar beranjak remaja
ia bekerja sebagai gembala unta ayahnya di Dajnan atau di tempat lain di
pinggiran kota Mekah. Sudah kita sebutkan ia berbicara tentang ayahnya serta tindakannya
yang keras saat ia mengembalakan untanya. Penulis al-‘Iqdil Farid menyebutkan
bahwa pada suatu hari Umar berkata kepada an- Nabigah al-ja’di: perdengarkanlah
nyanyianmu kepadaku tentang dia. Lalu diperdengarkannya sebuah kata dari dia.”
Engkau yang mengatakan itu? “Tanyanya. “ya” “sering benar kau menyanyikan itu di belakang Khattab.” Mengenbalakan unta
sudah merupakan kebiasaan di kalangan anak-anak Quraisy betapapun tingkat
kedudukan mereka.
Beranjak dari masa remaja ke
masa pemuda sosok tubuh Umar tampak berkembang lebih cepat di bandingkan
teman-teman sebayanya, lebih tinggi dan lebih besar. Ketika Auf bin Malik
melihat orang banyak berdiri sama tinggi, hanya ada seorang yang tingginya jauh
melebihi yang lain sehingga sangat mencolok. Bilamana ia menanyakan siapa orang
itu, dijawab: Dia Umar bin Khattab[4].
Wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal dengan kaki yang lebar sehingga
jalannya cepat sekali. Sejak mudanya ia memang sudah mahir dalam berbagai
olahraga: olahraga gulat dan menunggang kuda. Ketika ia sudah masuk Islam ada
seorang gembala ditanya orang: Kau tahu si kidal itu sudah masuk Islam? Gembala
itu menjawab: Yang beradu gulat di Pasar Ukaz? Setelah dijawab bahwa dia,
gembala itu memaki: Oh, mungkin ia membawa kebaikan buat mereka, mungkin juga
bencana.[5]
Dia tumbuh dalam pengasuhan
bapaknya dan mewarisi tabiat bapaknya yang keras yang tidak kenal sifat lemah,
tegas yang tak tersusupi kebimbangan, dan gigih yang tak mengenal tawar
menawar.
Istri-Istri Umar
Sesudah masa mudanya mencapai
kematangan, Umar terdorong ingin menikah. Kecenderungan banyak kawin sudah
diwarisi dari masyarakatnya dengan harapan mendapat banyak anak. Dalam hidupnya
itu ia mengawini sembilan perempuan yang kemudian memberikan keturunan dua
belas anak, delapan laki-laki dan empat perempuan. Dari perkawianannya dengan
Zainab putri Maz’un lahir Abdur-Rahman dan Hafsah; dengan Um Kulsum putri Ali
bin Abi Thalib lahir Zaid yang lebih tua dan Ruqayyah; dengan Um binti Jarul
bin Malik lahir Zaid yang lebih muda dan Ubaidillah. Islam telah memisahkan
Umar dengan Um Kulsum putri Jarul. Ia kawin dengan Jamilah binti Sabit bin Abi
al- Aflah maka lahir Asim. Nama Jamilah yang tadinya Asiyah,[6]oleh Nabi
diganti: sebenarnya engkau Jamilah, kata Nabi. Perkawinannya dengan Um Hakam
putri al- Haris bin Hisyam bin al-Mugirah melahirkan Fatimah. Dari perkawinannya
dengan Atikah binti Zaid bin Amr lahir Iyad. Luhayyah, hamba sahaya ibu
Abdurrahman anaknya yang menengah. Dari Fukaihah yang juga hamba sahaya yang
telah melahirkan Zaid, anaknya yang bungsu. Kalangan sejarawan masih berbeda
pendapat mengenai nama ibu Abdurrahman junior.
Umar kawin dengan empat
perempuan di Mekkah, dan yang perempuan kelima setelah hijrah ke Madinah.
Tetapi ia tidak sampai mengumpulkan mereka di rumahnya. Kita sudah melihat
Islam yang telah memisahkannya dari Um Kulsum binti Jarul, dan
perempuan-perempuan yang lain diceraikannya. Mereka yang diceraikan itu Um
Hakam binti al-Haris bin Hisyam dan Jamilah yang telah melahirkan Asim. Kalau
ia masih akan berumur panjang niscaya ia masih akan kawin lagi selain
kesembilan perempuan itu. Ia melamar Um Kulsum putri Abu Bakar sewaktu masih
gadis kecil sementara ia telah memgang pimpinan umat. Ia memintanya kepada
saudaranya, Aisyah. Aisyah menanyakan adiknya itu tetapi ia menolak dengan
mengatakan bahwa Umar hidupnya kasar dan sangat keras terhadap perempuan. Juga
ia pernah melamar Um Aban binti Utbah bin Rabi’ah, ia juga menolak dengan
mengatakan dia kikir, keluar masuk rumah dengan muka merengut.
Apa yang dikatakan Um Kulsum
binti Abu Bkar tentang wataknya yang keras dan kasar, dan apa yang dikatakan Um
Aban ia selalu bermuka masam dan hidupnya yang serba keras, merupakan sebagian
dari wataknya sejak masa mudanya, dan kemudian tetap begitu dalam perjalanan
hidupnya. Sesudah menjadi khalifah, maka dalam doa pertamanya ia berkata: “Ya Allah,
aku sungguh tegar maka lunakkan hatiku. Ya Allah, aku ini lemah, berikanlah aku
kekuatan. YaAllah aku sungguh kikir jadikanlah aku orang pemurah.”. Sejak
mudanya, ia sudah mewarisi sikap keras dan kasar itu dari ayahnya, kemudian
didukung pula oleh tubuhnya yang tetap kekar dan kuat.[7]
Pendidikan dan Pemikiran Umar
bin Khattab
Usaha Umar dalam memburu
pengetahuan membuatnya sejak mudanya ia memikirkan nasib masyarakatnya dan
usaha apa yang akan dapat memperbaiki keadaan mereka. Ini juga kemudian yang
membuatnya bangga, bersikeras dan menjadi fanatik dengan pendapatnya sendiri
tentang tujuan yang ingin dicapainya itu. Ia tidak mau di bantah atau berdebat.
Karena sikap keras dan ketegarannya itu sehingga dengan fanatiknya ia berlaku
begitu sewenang-wenang. Ia akan mempertahankan pendapatnya dengan tangan besi
dan dengan ketajaman lidahnya. Tetapi yang demikian ini bukan tidak mungkin
akan mengubah pendapat orang lain yang dihadapinya untuk menjadi bukti kuat
dalam pembelaannya dan untuk mematahkan alasan lawan.
Sebagai orang yang sudah
pandai baca tulis, adakah juga Umar mau mengikuti mereka dan meninggalkan
kepercayaan masyarakatnya?
Tidak! Malah dengan sengitnya
ia menyerah mereka. Ia berpendapat orang yang meninggalkan kepercayaan
masyarakatnya telah merusak sendi-sendi pergaulan masyarakat Arab. Ia
menganggap perlu memerangi dan menghancurkan mereka supaya tidak berakar dan
berkembang. Dalam hal ini fanatiknya terhadap penyembahan berhala barangkali
tidak seberat fanatiknya terhadap masyarakatnya itu, ingin bertahan dengan
sistem yang sekarang ada dengan segala keutuhan dan ketahanannya terhadap
golongan ini.[8]
Umar bin Khattab Masuk Islam
Umar bun Khattab masuk ialam
menurut berita yang sudah diketahui, sesudah ada empat puluh lima orang
laki-laki dan dua puluh perempuan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa jumlahnya
lebih dari itu, ada pula yang mengatakan kurang. Menurut peninjauan Ibn Katsir
dalam al-Bidayah wan-Hihayah Umar masuk Islam sesudah Muslimin hujrah ke
Abisinia, dan jumlah orang yang hijar itu hampir mencapai sembilan puluh orang
laki-laki dan perempuan. Sesudah mereka hijrah Umar bermaksud akan mendatangi
Muhammad dan sahabat-sahabatnya serta Muslimin yang lain di Darul-Arqam di
Safa, dan jumlah mereka laki-laki dan perempuan empat puluh orang. Dengan
demikian kita bebas menyebutkan bahwa mereka yang sudah mendahului Umar masuk
Islam sekitar seratus tiga puluh orang, walaupun kita tak dapat menyebutkan
jumlah yang pasti melebihi perkiraan yang berlawanan dengan pendapat yang umum
itu.[9]
Sebelum Umar masuk Islam Rasulullah SAW. telah memohon kepada Allah
agar mengislamkan salah satu Umar. Permohonan Rasulullah SAW. dikabulkan dengan
islamnya Umar bin Khattab. Sejak itu, Rasulullah SAW. dan kaum muslimin tidak
perlu beribadah dan berdakwah secara sembunyi-sembunyi lagi.
Umar bin Khattab adalah orang
yang cerdas. Umar bin Khattab adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW. yang
tidak serta merta menerima keputusan Nabi terhadap suatu masalah. Akan tetapi,
jika keputusan itu berdasarkan wahyu dari Allah dan bukan pemikiran Nabi, Umar
bin Khattab akan langsung menaatinya. Umar bin Khattab juga sangat tegas dalam
membedakan kebenaran dan kebathilan. Karena ketegasannya tersebut, Rasulullah
SAW. menyematkan gelar Al-Faruq yang artinya pemisah atau pembela. Allah telah
memisahkan yang hak dan yang batil pada dirinya. Umar bin Khattab ditunjuk oleh
Abu Bakar sebagai penggantinya dan penunjukan itu didukung oleh sahabat-sahabat
Nabi yang lain[10].
Terbunuhnya Umar bin Khattab
Sebelum matahari terbit hari
Rabu itu tanggal empat Zulhijjah tahun ke-23 H Umar keluar dari rumahnya hendak
mengimami shalat subuh. Ia menunjuk beberapa orang di Mesjid agar mengatur Shaf
sebelum shalat. Kalau barisan mereka sudah rata dan teratur, ia datang dan
melihat shaf pertama. Kalau ada orang yang berdiri lebih maju atau mundur,
diaturnya dengan tongkatnya. Kalau semua sudah teratur di tempat masing-masing,
mulai ia bertakbir untuk shalat. Saat itu dan hari itu tanda-tanda fajar sudah
mulai tampak. Baru saja ia mulai niat shalat hendak bertakbir tiba-tiba muncul
seorang laki-laki di depannya berhadap-hadapan dan menikamnya dengan khanjar
tiga atau enam kali, yang sekali mengenai bawah pusarnya. Umar merasakan
panasnya senjata itu dalam dirinya, ia menoleh kepada jamaah yang lain dan
membentangkan tangannya seraya berkata:”Kejarlah anjing itu; dia telah
membunuhku!” Dan anjing itu Abu Lu’lu’ah Fairuz, budak al-Mughirah. Dia orang
persiAa yang tertawan di Nahawand, yang kemudian menjadi milik al-Mughirah bin
Syu’bah. Kedatangannya ke mesjid itu sengaja hendak membunuh Umar di pagi hari
buta itu. Ia sudah bersembunyi di bawah pakaiannya dengan menggenggam bagian
tengahnya khanjar bermata dua yang tajam. Ia bersembunyi di salah satu sudut
mesjid. Begitu shalat dimulai ia langsung bertindak. Setelah itu ia menyeruak
lari hendak menyelamatkan diri. Orang gempar dan kacau, gelisah mendengar itu.
Orang banyak datang hendak menghajar anjing itu. Tetapi Fairuz tidak memberi
kesempatan menangkapnya. Malah ia menikam ke kanan kiri hingga dua belas orang
yang kena tikam, enam orang meninggal dan menurut sumber yang lain sembilan
orang. Dalam pad itu datang seseorang dari belakang dan menyelubungkan bajunya
kepada orang itu sambil menghempaskannya ke lantai. Yakin dirinya akan dibunuh,
Fairuz bunuh diri dengan khanjar yang digunakannya untuk membunuh Umar. Tikaman
yang mengenai mengenai bawah pusarnya
itu memutuskan lapisan kulit bagian dalam usus lambung yang dapat mematikan.
Konon Umar tidak dapat berdiri karena perihnya tikaman itu, dan terhemoas
jatuh. Abdurrahman bin Auf segera maju menggantikannya mengimami shalat. Ia
meneruskan shalat itu dengan membaca dua surahterpendek dalam al-Quran yaitu
al-Asr dan al-Kautsar. Ada juga dikatakan bahwa orang jadi kacau balau setelah
Umar tertikm dan beberapa orang lagi di sekitarnya. Mereka makin gelisah
setelah melihat Umar diusung ke rumahnya dekat mesjid. Orang ramai tetap kacau
dan hiruk-pikuk sehingga ada yang berseru: Salat! Matahari sudah terbit! Mereka
mendorong Abdurrahman bin Auf dan dia maju shalat dengan dua surah terpendek
tersebut.[11]
Setelah shalat berjamaah mereka
segera terpencar ke samping mesjid dan ke Butiha. Pembicaraan mereka terpusat
hanya pada peristiwa yang mengerikan yang terjadi di depan mata mereka. Secepat
kilat berita itupun menyebar ke Madinah. Penduduk yang belum bangun segera
terbangun dari tidur, laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Setelah Umar sadar dari
pengsannya, para keluarga pun memanggil seorang tabib untuk mengobatinya. Lalu
tabib datang dan langsung mengobatinya dengan menuangkan anggur kepada Umar.
Minuman anggur itu sama dengan darah waktu keluar dari bekas luka yang dibawah
pusar. Abdullah bin Umar memanggil seorang tabib dari Ansar dan yang lain dari
Banu Mu’awiyah. Ia menuangkan susu kepada Umar, dan yang keluar dari bekas
lukanya itu susu juga, putih warnanya tak berubah. Maksudnya sudah dapat dipastikan bahwa Umar
akan meninggal.[12]
Sebelum wafat, Umar berwasiat
agar urusan khalifah dan pimpinan pemerintahan di musyawarahkan oleh enam orang
yang telah mendapat ridha oleh Nabi. Mereka adalah Utsman bin affan, Ali bin
Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash,
dan Abdurrahman bin Auf. Umar juga menolak untuk mencalonkan adik iparnya,
Sa’id bin Zaid, untuk menghindari dirinya dari kesan nepotis. Sempat juga ada
yang mengusulkan anak Umar, yaitu Abdullah bin Umar di angkat menjadi Khalifah.
Namun Umar tidak setuju dan berkata, “tidak ada maksud keturunan al-Khattab
hendak mengambil pangkat khalifah ini untuk merek. Abdullah tidak akan turut
untuk memperebutkan pangkat ini”. Abdullah juga setuju dengan keputusan ayahnya
itu.[13]
Berbagai sumber mengenai hari
ditikamnya Umar dan dikebumikan terdapat perbedaan. Salah satunya menyebutkan
bahwa dia ditikam hari Rabu dan dikebumikan hari Kamis malam ketiga Zulhijjah.
Sumber yang lain menyebutkan bahwa penikaman itu terjadi hari Rabu dan ia
dikebumukan hari Ahad pagi 1 Muharram tahun 24 H. Sumber ketiga menyebutkan
bahwa ia meninggal tanggak 8 atau 10 Muharram tahun 24 H.[14]
Penulis: Norsafitri
Referensi
Referensi
[1] Abdul Hamid as-Suhaibani, Para Sahabat
Nabi, (Jakarta: Darul Haq, 2015), h.13.
[2] Departemen Agama, Sejarah Kebudayaan
Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI Direktorat Jemdral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1999), h.73.
[3] Abdul Hamid as-Suhaibani, Para Sahabat
Nabi,......, h.13-14
[4] Ibn Sa’d menuturkan dalam at-Tabaqat:”Orang itu
lebih tinggi dari tiga depa. Siapa dia?” Dijawab: Umar bin Khattab.
[5] Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab,
(Bogor: Pustaka Lintera AntarNusa, 2010), hal.10-11
[6] Dapat juga
berarti ”pembangkang”.
[10] H. Darsono dan T. Ibrahim, Tonggak
Sejarah Kebudayaan Islam. (Solo : PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri,
2009), hal.62 .
[11] Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab,......,
h.719-720
[12] Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab,......,
h.721-722
[13] Yunuardy Syukur, Kisah Perjuangan
Sahabat-Sahabat Nabi, (Jakarta: Al-Maghfiroh, 2014), h.70-71.
0Comments