Latar Belakang Keluarga Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka, lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di tepian danau Maninjau,Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkanKarim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.

Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau menggantnamanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim bin Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M diKepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau,Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayahNagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad Amrullah.

Masa Kecil Hamka
Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914,beliau dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun,beliau kemudian dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena kenakalannyabeliau dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyakbeliau peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama, Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga,beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.[1]

Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab. Sumatera Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah berkelas.

Hamka kecil sangat gemar menonton film.beliau tergolong anak yang tingkat kenakalannya cukup memusingkan kepala.beliau suka keluyuran ke mana-mana, sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung bioskop untuk mengintip film bisu yang sedang diputar. Selain kenakalan tersebut,beliau juga sering memanjat jambu milik orang lain, mengambil ikan di kolam orang, kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka kawannya itu akan terus diganggunya. Pendeknya, hampir seluruh penduduk kampong sekeliling Padang Panjang tidak ada yang tidak kenal akan kenakalan Hamka[2] Tatkala usianya 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian itu terjadi karena perbedaan pandangan dalam persoalan ajaran agama. Di pihak ayahnya adalah seorang pemimpin agama yang radikal, sedangkan di pihak ibunya adalah pemegang adat yang sangat kental[3]
Biografi Abdul Maik Karim Amrullah (Buya Hamka)
Waktu kecilnya, Hamka lebih dekat dengan andung (nenek) dan engkunya (kakek), di desa kelahirannya. Sebab, ayahnya, DR. Haji Abdul Karim Amrullah, adalah ulama modernis yang banyak diperlukan masyarakat pada waktu itu sehingga hidupnya harus keluar dari desa kelahiran Hamka, seperti ke kota padang. Menurut penuturan Hamka sendiri, dia merasa bahwa terhadap kakek dan neneknya merasa lebih sayang dari pada terhadap ayah dan ibunya. Terhadap ayahnya, Hamka lebih banyak merasa takut dari pada sayang. Ayahnya dirasakannya sebagai orang yang kurang mau mengerti jiwa dan kebiasaan anak-anak. Ayahnya dinilainya terlampau kaku dan bahkan secara diametral dinilainya bertentangan dengan kecenderungan masa kanak-kanak yang cenderung ingin “bebas” mengekspresikan diri, atau “nakal” sebab kenakalan anak-anak , betapapun nakalnya , asal masih dalam batas-batas kewajaran adalah masih lumrah bahkan demikian menurut Hamka.

Menurut Hamka sendiri, kenakalannya itu semakin menjadi-jadi setelah dia menghadapi dua hal yang sama sekali belum dapat dipahaminya. Pertama, dia tidak mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang dilakukannya sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru apa yang dilakukan itu telah sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri. Hal kedua, yakni hal yang antara lain menybabkan kenakalan Hamka kecil menjadi-jadi, adalah peristiwa perceraian antara ayahnya, DR.Haji Abdul Karim Amrullah, dengan ibunya tercinta shafiyah. Kejadian ini sangat memukul batin Hamka kecil.[4]

Kehidupan Hamka kecil yang cukup memprihatinkan di atas hampir berjalan selama setahun, yaitu dari usia 12 tahun sampai dengan usia 13 tahun, atau sampai sekitar tahun 1921. Sisi positif dari perilaku Hamka kecil mulaidari usia 12 tahun (1920) sampai dengan usia 15 tahun (1923) adalah sebagai berikut :
a) Sudah mulai gemar membaca buku-buku, baik itu cerita sejarah kepahlawaan atau artikel-artikel di surat kabar yang memuat kisah perjalanan dan sebagainya.
b) Suka kemampuan daya khayal (fiction) dengan cara banyak mendengar dan merekam dongeng,cerita sehari-hari yang sedang merebak (cerita tentang hantu misalnya).[5]

Pendidikan dan Karir Buya Hamka
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923,beliau belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di Padangpanjang, serta sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek. Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapibeliau tidak mempunyai ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain: syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay El-Yunusiy.

Pelaksanaan pendidikan pada waktu itu masih bersifat tradisional dengan menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru diperkenalkan di Sumatera Thawalib jembatan besi. Hanya saja, pada saat ini sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur san papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab klasik, sperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya.

Diantara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan yang digunakan Engku Zainuddin Labay Al-Yunusy menarik hatinya. Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar (Transfer Of Knowledge), akan tetapi juga melakukan proses “mendidik” (Transformation Of Value). Melalui Diniyah School (suatusekolah yang mengkaji ilmu-ilmu agama islam, yang didirikan oleh syekh zainuddin labay).[6]

Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melanglangbuana. Tatkala usianya masih 16 tahun (pada tahun 1924),beliau sudah meninggalkan Minangkabau, menuju Jawa.[7] Akhir tahun 1924 Hamka muda berangkat keYogyakarta dengan menumpang seorang saudagar yang akan pergi ke kota itu. Di Yogyakarta Hamka muda menumpang hidup di rumah orang sekampungnya satu-satunya yang berada di kota itu, Marah Intan. Tepatnya, di kampung Ngampilan, kira-kira satu kilometer dari kampung kauman kearah barat, sebuah kampung tempat kelahiran dan sekaligus wilayah awal tempat gerakan persyarikatan Muhamadiyah. Di kota ini Hamka kecil bertemu dengan Adik ayahnya, Ja’far Amrullah, yang kebetulan juga sedang “belajar agama”. Hamka muda merasa heran, mengapa pamannya harus “belajar agama” lagi di Yogyakarta, apabila hanya dalam tempo dua bulan saja? Bukankah semula pamannya telah cukup “belajar agama” diSumatera? Lebih heran lagi, pamannya itu belajar agama pada pagi, petang dan malam hari.[8]

Setelah beberapa bulan Hamka muda ikut “belajar agama” bersama-sama dengan pamannya di atas, maka menjadi sadarlah dia, bahwa dia dalam belajar agama ini: (1) lebih banyak bersikap “membaca dan menghafal dari pada “menelah dan memahami” pelajaran agama; (2) lebih hanya sekedar “menambah khazanah ilmu agama secara pasif” dari pada “menangkap hakikat dan semangat ilmu agama secara dinamik”; (3) lebih banyak memusatkan perhatian pada masalah mikro agama dari pada mengembangkan masalah pesan makro agama.[9]

Biografi Abdul Maik Karim Amrullah (Buya Hamka)
Biografi Abdul Maik Karim Amrullah (Buya Hamka)
Pada pertengahan tahun 1925 (juni 1925) hamka muda pulang kembali ke maninjau, kampung halamannya, dengan dada orang muda yang telah dipenuhi pandangan-pandangan baru, semangat ”Revolusioner” dan keberanian berpidato di dalam pertemuan-pertemuan ramai, termasuk pidato-pidato politik.

Sebagai ulama besar, Hamka tidak jarang mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Hamka pernah diberi kepercayaan untuk menjadi pejabat tinggi dan penasehat Departemen Agama. Kedudukan ini pada gilirannya membuka peluang baginya untuk mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di berbagai negara mewakili Indonesia, seperti memenuhi undangan pemerintahan Amerika (1952), sebagai anggota misi kebudayaan ke Muangthai (1953), menghadiri peringatan mengkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954), menghadiri konferensi Islam di Lahore (1958), Imam Masjid al-Azhar (Kebayoran Baru), menghadiri konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), muktamar masjid di Makkah (1976), menghadiri seminar tentang islam dan peradaban di Kualalumpur, upacara seratus tahun Muhammad Iqbal di Labore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977). Di samping itu, pada 27 Juli 1975 pada saat diadakan musyawaroh alim ulama seluruh Indonesia, dimana disepakati dibentuknya Majlis Ulama Indonesia, Hamka dipilih dan dilantik sebagai ketua.[10]

Hamka adalah ketua Umum yang pertama. Kebulatan tekad ini ditandai dengan ikrar bersama yang dituangkan dalam suatu piagam, yang ditandatangani oleh 26 orang ketua Majelis Ulama Tk. I, 10 orang ulama unsur organisasi islam tingkat pusat, 4 orang ulama Dinas Rohani Islam dari Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut serta Kepolisian, dan 3 orang ulama yang diundang secara perorangan.[11]

Besarnya prestasi dan peranan Hamka dalam melaksanakan dakwah Islamiyah di Indonesia, menarik akademisi untuk memberikan penghargaan kepada Hamka. Pada tahun 1959 Majlis Tinggi Universitas al-Azhar Kairo memberikan penghargaan gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor Honoris Causa) kepada Hamka, karena jasanya dalam menyiarkan agama Islam dengan menggunakan bahasa Indonesia yang indah. Dan pada tahun 1974, Hamka juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra dari Universitas di Malasyia.[12]

Karya Karya Buya Hamka
Sebagai seseorang yang berpikiran maju, tidak hanyabeliau lakukan di mimbar melalui berbagai macam ceramah agama.beliau juga merefleksikan kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai macam karyanya dalam bentuk tulisan. Untuk itu dibawah ini akan dideskripsikan beberapa karyanya yang dibagi dalam beberapa bidang antara lain:

1. Karya-karya Hamka dalam bidang Satra
a) Di bawah lindungan ka’bah (1937).
b) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938).
c) Merantau Ke Delhi (1939).
d) Di dalam lembah kehidupan.

2. Karya-karya Hamka dalam bidang keagamaan islam.
a) Pedoman Muballig Islam (1937).
b) Agama dan Perempuan (1939)
c) Kedudukan Perempuan dalam Islam. Buku ini pertama sekali diterbitkan pada tahun 1973.
d) Tafsir al-Azhar Juz I-XXX.
e) Studi Islam (1982).
f) Sejarah Umat Islam Jilid I-IV (1951).
g) Tasawuf Modern.
h)  Falsafah Hidup (1940).
i)  Ayahku (1950).
j)  Filsafat Ketuhanan.
k) Kenang-kenangan Hidup jilid I-IV(1951).

3. Karya-karya Hamka dalam bidang pendidikan
a)  Lembaga budi (1939).
b)  Lembaga Hidup (1941).
c)  Pendidikan Agama Islam (1956).
d)  Akhlaqul Karimah (1989).

Akhir Hayat Buya Hamka
Jumat 17 Juli 1981, Buya Hamka menderita gangguan jantung. Enam bulan lalu, Dr. Karnen yang selama puluhan tahun menjadi dokter pribadi keluarga memberitahukan bahwa sudah ada kelainan di jantungnya. Buya Hamka juga pernah mengidap penyakit diabetes selama 20 tahun lebih, berkali-kali diabetes itu mengganggu kesehatannya. Sekitar tahun 1964 dan 1965 Buya Hamka dirawat hampir 2 tahun di Rumah Sakit Persahabatan Rawamangun. Tiga tahun yang lalu untuk mengobati penyakit diabetes itu, Buya Hamka juga dirawat di Rumah Sakit Pertamina untuk beberapa minggu. Gangguan jantung yang dirasakan Buya Hamka merupakan komplikasi penyakit diabetes itu.

Gangguan jantung sebagai akibat dari komplikasi diabetessudah dirasakan sekitar 6 bulan lalu.Jum’at malam, serangan jantung kembali dirasakannya. Buya Hamka kembali dibawa ke Rumah Sakit Pertamina untuk mendapatkan perawatan yang optimal. Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa Buya Hamka mendapat serangan jantung yang berat. Penyakit itu sudah dirasakan sejak Februari lalu, tetapi serangan yang baru dialaminya mengenai bagian lain dari jantungnya.

Sore harinya, Buya Hamka sudah ditempatkan di ruangan ICU (Intensive Care Unit). Pernafasannya dibantu oleh oxygen dan di dadanya sudah terpasang alat pemeriksaan jantung. Sabtu, 18 Juli 1981 semua anak dan sebagian cucunya datang untuk menjenguk keadaan Buya Hamka yang belum juga membaik.Minggu 18 Juli 1981 keadaannya semakin memburuk, Dr. Amal Sutopo yang menangani beliau memberi keterangan bahwa kadar gulanya sangat tinggi, bagian jantung yang terkena serangan jantung sudah semakin meluas dan sulit untuk diatasi. Banyak keluarga dan kerabat dekat Buya Hamka yang datang untuk menjenguknya, diantaranya Mohammad Natsir, Yunan Nasution, Abdullah Salim dan Syafruddin Prawiranegara.

Kamis 23 Juli 1981 keadaan Buya Hamka memburuk lagi. Dokter Savitri Siregar yang juga menangani Buya Hamka menceritakan bahwa salah satu saluran darah ke otak Hamka telah lumpuh, dan keadaan Hamka saat itu sudah koma. Siang itu tamu-tamu datang untuk melihat keadaan Hamka diantaranya Pimpinan Majlis Ulama K.H. Syukri Ghazali, Letjen Sudirman, Projokusumo, dan Bapak K.H. Hasan Basri yang sangat terkejut melihat keadaan Hamka saat itu.[13]

Dokter Savitri memberitahukan bahwa pernafasan Hamka sudah dibantu dengan pompa.Keluarga terus membaca ayat suci Al-Quran disamping pembaringan orang yang sangat dicintainya itu. Sampai jum’at pagi keadaan Hamka terus memburuk, tensi darahnya lama kelamaan semakin menurun hingga mencapai 50. Menhankam M. Yusuf, Mohammad Natsir, Bukhari Tamam serta Menteri Transmigrasi Prof. Dr. Harun Zain datang menjenguk Hamka.[14]

Sekitar pukul 10.15, dokter Savitri mengatakan bahwa dia akan membuka semua pipa dan selang serta alat bantu yang dipasang di kerongkongan dan hidung Hamka. Dr. Savitri menangis sambil meminta maaf karena tidak berhasil membantu Hamka melewati masa kritisnya. Satu persatu selang dan pipa-pipa itu di buka, semua yang berada dalam kamar membaca “ Lailahailallah “. Nafasnya pelan-pelan berhenti, grafik jantung berjalan lurus tanpa ada denyut. Buya Hamka meninggal pada hari jum’at tanggal 24 Juli 1981 di usianya yang ke 73 tahun dengan tenang dan disaksikan oleh anak cucu serta kerabat karibnya.[15]



[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, 20-05-2017
[2]Badiatul Roziqin, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009) Cet-2, h. 53
[3]Ibid. , h. 53
[4] Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 28
[5]Ibid, h. 36
[6]Nur hamim, Manusia dan pendidikan elaborasi pemikiran HAMKA, (Sidoarjo: Qisthos, 2009), h. 26.
[7]Herry Muhammad dkk, Tokoh-tokoh islam yang berpengaruh pada abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h.61
[8]Mohammad damami, Tasawuf Positif (dalam pemikiran HAMKA), (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), h. 41
[9]Ibid, h. 42
[10] Nur hamim, Manusia dan pendidikan elaborasi pemikiran HAMKA, (Sidoarjo: Qisthos, 2009), h. 29
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 123
[12] Nur hamim, Manusia dan pendidikan elaborasi pemikiran HAMKA,..............h. 30
[13] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 229.
[14]Ibid., h. 230.
[15]Ibid,