Muhammad Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993,
bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi berita utama di berbagai
media cetak dan elektronik. Berbagai komentar muncul, baik dari kalangan kawan
seperjuangan maupun lawan politiknya. Ada yang bersifat pro terhadap
kepemimpinannya dan ada pula yang bersifat kontra. Mantan Perdana Menteri
Jepang yang diwakili oleh Nakadjima, menyampaikan ucapan belasungkawa atas
kepergian Muhammad Natsir dengan ungkapan, “Berita wafatnya Muhammad Natsir
terasa lebih dahsyat dari jatuhnyabom atom di Hiroshima.” Rasa duka yang dalam
datang dari berbagai pihak, termasuk dari Pemerintah Indonesia sendiri.
Ungkapan “Indonesia kehilangan seorang tokoh penting” hampir menghiasi berbagai
media massa cetak dan elektronik mengiringi kepergiannya untuk selama-lamanya.[1]
Muhammad Natsir |
- Bagi sejarah, dia adalah guru bangsa, negarawan, pejuang, pemikir, penulis, cendikiawan, budayawan, politikus, pendidik ummat, mujahid dakwah, dan tokoh internasional yang dihormati.
- Bagi ayah dan ibunya, dia adalah anak kesayangan.
- Bagi Istrinya Umi Nurhanar, dialah suami penuh cinta partner perjuangan 57 tahun.
- Bagi anak-anaknya Siti Muchlisah, Abu Hanifah, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, Ahmad Fauzie, menantu dan cucu, dia adalah ayah, Aba panggilan kesayangan, teladan kehidupan sukar tandingan.
- Bagi HIS, MULO dan AMS, tempatnya bersekolah di Solok, Padang dan Bandung, dia adalah murid dari orang tua bukan pegawai terpandang, kecil dalam pendapatan, mencari kayu untuk memasak makanan, tapi cerdas, pekerja keras, dalam umur sangat muda menguasai banyak bahasa, yaitu Belanda, Inggris, Perancis, Latin dan Arab Bahasa Al Quran, tentu saja.
- Bagi perpustakaan sekolah AMS, dia adalah pembaca buku yang sangat tekun dengan disiplin luarbiasa, satu buku seminggu dia tamatkan, tetap disempatkan di antara kesibukan menekuni pelajaran rutin keseharian.
- Bagi bangunan di Bandung, Jalan Lengkong Baru 16, nomor 74, cita-cita anak muda ini direalisasikannya dengan susah payah melalui lembaga Pendidikan Islam “Pendis” yang meliputi TK, HIS, dan MULO selama 10 tahun.
- Bagi Negara, dialah yang lebih dari setengah abad yang lewat, selepas pengakuan kedaulatan di masa gawat, ketika situasi nasional terancam perpecahan, dengan Mosi integralnya dia mengukuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan momen 15 Agustus 1950 itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia.
- Bagi Rakyat, dia adalah Menteri yang jasnya bertambal, mobil pribadinya DeSoto berwarna kusam dan menggeleng ketika ditawari Chevy Impala, dialah Perdana Menteri yang menolak kelebihan dana taktis yang disumbangkannya kepada koperasi pegawai, dialah pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta, Perdana Menteri yang pernah boncengan naik sepeda dengan sopirnya, yang ahli warisnya tak mampu membayar pajak rumah peninggalannya di kawasan Menteng.
- Bagi bangsa, akan sukar sekali mencari teladan kesederhanaan gaya hidup pribadi dan keluarga, kesantunan dalam setiap lapis pergaulan, kerendahan suara dalam perdebatan, bersih dan tertib dalam lalu lintas keuangan, dalam masalah materi tidak mencatat keserakahan, dalam perilaku politik senantiasa menghormati etika, dalam akhlak segi manapun mendekati sempurna, disimpulkan dalam senyum teduh di wajah karena getaran qalbu yang Ilahiah.
Rabbana,
Rabbana, Rabbana, jangan biarkan kami menunggu seratus tahun lagi, untuk
tibanya pemimpin-pemimpin bangsa, yang mencerahkan dan bercahaya kilau-kemilau
serupa beliau.[2]
*Penulis: Yuliana
Catatan Kaki
[2]Bactiar
Chamsyah, et. al., 100 Tahun Mohammad Natsir Berdamai Dengan Sejarah,
(Yogyakarta : Republika, 2008).
Seamat Membaca
ReplyDelete