Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari atau yang biasa disebut Datu Kalampayan lahir di Lok Gabang, Martapura, Kalimantan Selatan pada tanggal 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 M. Seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam di Kalimantan. Beliau tokoh yang gigih dalam mempertahankan aliran Ahlussunnah Wal Jama’ah dan bermazhab Fiqih Syafi’i. Beliau penasehat atau mufti Kesultanan Banjar dan penulis yang produktif.[1]
Jalur
nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Tuan
Penghulu Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar
Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin
Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As
Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad
Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih
Muqaddam bin Ali
Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali
Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin
Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al
Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
Sejak dilahirkan, Muhammad Arsyad
melewatkan masa kecil di desa kelahirannya Lok Gabang, Martapura. Sebagaimana anak-anak pada umumnya, Muhammad Arsyad
bergaul dan bermain dengan teman-temannya. Namun pada diri Muhammad Arsyad
sudah terlihat kecerdasannya melebihi dari teman-temannya. Begitu pula akhlak
budi pekertinya yang halus dan sangat menyukai keindahan. Di antara
kepandaiannya adalah seni melukis dan seni tulis. Sehingga siapa saja yang
melihat hasil lukisannya akan kagum dan terpukau. Pada saat Sultan Tahlilullah sedang bekunjung ke kampung Lok
Gabang, sultan melihat hasil lukisan Muhammad Arsyad yang masih berumur 7 tahun.
Terkesan
akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut
sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu
Sultan. Di istana, Muhammad Arsyad tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia,
ramah, penurut, dan hormat kepada yang lebih tua. Seluruh penghuni istana
menyayanginya dengan kasih sayang. Sultan sangat memperhatikan pendidikan
Muhammad Arsyad, karena sultan mengharapkan Muhammad Arsyad kelak menjadi
pemimpin yang alim.[2]
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari masuk lingkungan
istana Banjar pada usia 7-8 tahun. Latar belakang keluarganya tidak begitu
jelas. Tradisi lisan menyebut, waku iu beliau sudah mampu membaca Al-Qur’an
dengan sempurna. Sultan tahlilulah terkesan oleh kecerdaasnnya. Sultan
sendirilah yang minta kepada orang tua Syekh Arsyad agar anak itu didik di
istana bersama anak-anak dan cucu-cucu kerajaan. Sultan pula yang menikahkan
beliau dengan seorang perempuan bernama Bajut. Hanya, ketika isteri beliau
megadung, Syekh Arsyad minta dikirim belajar ke Mekkah atas biaya negara.
Kabarnya bekas pondikannya di kampung Syami’ah, Mekkah, masih dipelihara oleh
seorang syekh yng juga berasal dari Banjarmasin.[3]
Di Tanah
Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada masyaikh terkemuka pada masa itu.
Di antara guru dia adalah Syekh ‘Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif
Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.
Syekh yang
disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di
bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga
mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.
Selain itu
guru-guru Muhammad Arsyad yang lain seperti Syekh Ahmad bin Abdul Mun'im ad
Damanhuri, Syekh
Muhammad Murtadha bin Muhammad az Zabidi, Syekh Hasan bin Ahmad al Yamani,
Syekh Salm bin Abdullah al Basri, Syekh Shiddiq bin Umar Khan, Syekh Abdullah
bin Hijazi asy Syarqawy, Syekh Abdurrahman bin Abdul Aziz al Maghrabi, Syekh
Abdurrahamn bin Sulaiman al Ahdal, Syekh Abdurrahman bin Abdul Mubin al
Fathani, Syekh Abdul Gani bin Muhammad Hilal, Syekh Abis as Sandi, Syekh Abdul
Wahab at Thantawy, Syekh Abdullah Mirghani, Syekh Muhammad bin Ahmad al
Jauhari, dan Syekh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh.
Selama
menuntut ilmu di sana, Syekh Muhammad Arsyad menjalin persahabatan dengan
sesama penuntut ilmu seperti Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri al-Jawi, dan Syekh Abdul Wahab Bugis sehingga mereka dikenal sebagai Empat Serangkai dari
Tanah Jawi (Melayu).[4]
Selama di
Haramain, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari selalu melakukan kontak dengan tanah
air, sehingga beliau banyak mengetahui perembangan yang terjadi di Nusantara.
Dengan
demikian, beliau tidak kehilangan informasi yang terjadi di tanah air beliau.
Beliau baru kembali ke tanah air setelah menetap di Mekkah selama 30 tahun dan
di Madinah selama 5 tahun. Tepatnya beliau kembali ke Martapura pada tahun1186
Hijriah bartepatan pada tahun 1773 Masehi.[5]
Sekitar 30 tahun beliau belajar di sana. Dimasa
akhir-akhir studinya ia diberi izin mengajar di Masjidil Haram, selain memberi
fatwa. Salah satu persoalan yang pernah dikemukakan kepadanya, apakah Sultan
Banjar berhak menghukm orang yang tidak melaksanakan Shalat Jum’at dengan
pembayaran denda kepada Sultan. Itu lalu dimuat dalam kitab Fatawa, karangan
gurunya, Syekh Sulaiman Kurdi. Sebelum pulang ke tanah air,1773, beliau sempat
beberapa tahun pindah belajar ke Madinah, antara lain kepada Ibrahim
Az-Zam-Zam, yang mengajari ilmu falak, yang kelak menjadi salah satu bidang
keahliannya.
Syekh tidak langsung ke Martapura. Beliau mampir ke
Batavia dua bulan atas permintaan Abdurrahman al-Misri. Di sini beliau antara
lain membetulkan arah kiblat beberapa masjid. Di mihrab Masjid Jembatan Lima,
misalnya tertera catatand dalam bahasa Arab bahwa arah kiblat masjid itu
diputar kekanan sekitar 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Di Martapura Syekh disambut meriah oleh Sultan
Tamjidullah. Ikut pula bersama Syekh Abdul Wahab Bugis, kawan di Mekkah dulu
yang ia kawinkan dengan putrinya yang in absentia, Syarifah namanya.
Hanya saja di tanah air ternyata Syarifah menikah dengan Usman, bahkan, ia
sudah punya anak. Yang menikahkannya adalah sultan sendiri, selaku wali hakim.
Pasa tempatnya masing-masing, kedua perkawinan itu menjadi sah. Tapi, bagaimana
Syekh Arsyad mengambil keputusan hukum.
Sungguh unik. Beliau memeriksa saat terjadi
perkawinan itu berdasarkan keahliannya dalam ilmu falak dan mengingat perbedaan
waktu antara Martapura dan Mekkah. Hasilnya menunjukkan bahwa pernikahan yang
di Mekkah berlangsung hanya beberapa saat sebelum yang di Martapura. Atas dasar
ini, pernikahan Syarifah dengan Usman diputuskan. Abdul Wahab ditetapkan
sebagai suami Syarifah.
Demikian cerita rakyat. Tidak seorangpun dianggap
berdosa. Malahan kelak Syekh Arsyad mengangkat cucunya yang dari perkawinan
Syarifah-Usman sebagai Mufti pertama Kesultanan Banjar. Selanjutnya posisi ini
selalu diduduki keturunan Syekh Arsyad.
Beliau sendiri, meski penasehat sultan, tidak
tinggal dilingkungan istana. Beliau menempati tanah kosong di pinggiran kota,
yangmana beliau telah memagari terlebih dahulu sebelum di dakamnya dibangun
pemukiman. Sampai sekarang desa ini disebut Dalam Pagar. Di daerah transmigrasi
beliau bersama menantunya menggali saluran air baru untuk irigasi. Sehingga
kampung di daerah itu berkembang menjadi delapan buah. Salah satunya dinamakan
Sungai Tuan, sebagai peringatan atas jasa syekh.
Beliau wafat pada bulan Syawal, bertepatan pada
tanggal 13 Oktober 1812 M pada usia 102 tahun. Beliau wafat di daerah
Kesultanan Banjar dan dimakamkan di Kalampayan, Martapura, Kalimantan Selatan.
Adapun kitab karangan beliau yaitu Sabilul
Muhtadin lit-Tafaquh fi Amriddin
yang artinya menurut beliau sendiri adalah Jalan Segala Mereka yang
Beroleh Petunjuk bagi yang Menghasilkan Fiqih pada Pekerjaan Agama. Sampai
sekarang kitab ini masih bisa dijumpai di toko-toko kitab. Judul itu sendiri
dijadikan nama Masjid Agung Banjarmasin.[6] Adapun untuk ilmu bathin beliau
meulis kitab Kanzul Ma’rifah yang artinya Gudang Pengetahuan.[7]
Syekh
Muhammad Arsyad menerima tarekat Samaniyah dari as-Samani dan beliau dianggap
sebagai ulama yang paling bertanggug jawab atas tersebarnya tarekat Samaniyah
di Kalimantan.
Beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
1) Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua Puluh,
2) Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat.
3) Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
4) Kitabul Fara-idl, yaitu kitab tentang hukum pembagian warisan.[8]
5) Kitab an-Nikah, yaitu kitab tentang nikah.[9]
Beberapa kitab serta risalah lainnya, di antaranya ialah:
1) Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Dua Puluh,
2) Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat.
3) Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,
4) Kitabul Fara-idl, yaitu kitab tentang hukum pembagian warisan.[8]
5) Kitab an-Nikah, yaitu kitab tentang nikah.[9]
Penulis: Muhammad Amin
Catatan Kaki
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari
diunduh tanggal 25 Desember 2016.
[3] A. Suryana Sudrajat, Ulama
Pejuang dan Ulama Petualang, Umum,
Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006,
hal.77-78.
[4] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari
diunduh tanggal 25 Desember 2016.
[5] Dr.H.Murodi MA, Pendidikan
Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kalas IX, Toha
Putra, 2008, hal.55
[6] A. Suryana Sudrajat, Ulama
Pejuang dan Ulama Petualang, Umum, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006,
hal.78-81.
[7] Dr.H.Murodi MA, Pendidikan
Agama Islam Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah Kalas IX, Toha
Putra, 2008, hal.55
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Arsyad_al-Banjari
diunduh tanggal 25 Desember 2016.
0Comments