Sejak
kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan bergaul dengan para ulama, bergaul
dengan mereka untuk dapat mereguk dan menimba ilmunya. Belum pun mencapai usia
dewasa, beliau telah mempersiapkan dirinya untuk mengembara, mengelilingi
berbagai negeri. Ia belajar hadith dari para ulama yang tidak sedikit
jumlahnya, yang dijumpainya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar,
Khurasan dan negeri-negeri lain. Lawatannya ke berbagai negeri ini membantu dia
untuk memperoleh pengetahuan luas tentang hadith, kemudian hadith-hadith yang
diperolehnya itu disaring dan hasil penyaringannya dimasukkan ke dalam kitab
As-Sunan. Abu Dawud mengunjungi Baghdad berkali-kali. Di sana ia mengajar
hadith dan fiqh kepada para penduduk dengan menggunakan kitab Sunan sebagai
rujukannya. Kitab Sunan karyanya itu ditunjukkannya kepada tokoh ulama hadith,
Ahmad bin Hanbal.
Abu Dawud adalah salah
seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darajat tinggi dalam
ibadah, kesucian diri, wara’ dan kesalehannya.Ia adalah seorang sosok
manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya.
Sifat-sifat Abu Dawud ini telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang
menyatakan:“Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan
jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat
ini menyerupai Waki’, Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai
Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha’i, Ibrahim menyerupai ‘Alqamah dan
ia menyerupai Ibn Mas’ud. Sedangkan Ibn Mas’ud sendiri menyerupai Nabi SAW
dalam sifat-sifat tersebut.”Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini
menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku
dan akhlak.Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam
cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil
dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia
menjawab:“Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab,
sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah
berlebih-lebihan.
Sebagai ahli hukum, Abu
Dawud pernah berkata, "Cukuplah manusia dengan empat hadist, yaitu:
"Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya";
"Termasuk kebagusan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat"; "Tidaklah keadaan seorang mukmin itu menjadi mukmin,
hingga ia ridha terhadap saudaranya apa yang ia ridha terhadap dirinya
sendiri"; "Yang halal sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas
pula, sedangkan di antara keduanya adalah syubhat."
Dengan
bangga Imam Ahmad memujinya sebagai kitab yang sangat indah dan baik. Kemudian
Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan Gabenor setempat yang bercita-cita
supaya Basrah menjadi “Ka’bah” bagi para ilmuwan dan peminat hadith.
Sikap Abu Dawud yang
memandang tinggi terhadap kedudukan ilmu dan ulama ini dapat dilihat pada kisah
berikut sebagaimana dituturkan, dengan sanad lengkap, oleh Imam al-Khattabi,
dari Abu Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Ia berkata:“Aku bersama Abu Dawud
tinggi di Baghdad. Pada suatu waktu, ketika kami selesai menunaikan shalat
Maghrib, tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu pintu aku buka dan seorang
pelayan melaporkan bahawa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq mohon ijin untuk masuk.
Kemudian aku melapor kepada Abu Dawud tentang tamu ini, dan ia pun mengijinkan.
Sang Amir pun masuk, lalu duduk. Tak lama kemudian Abu Dawud menemuinya seraya
berkata: “Gerangan apakah yang membawamu datang ke sini pada saat seperti
ini?”“Tiga kepentingan,” jawab Amir. “Kepentingan apa?” tanyanya.Amir
menjelaskan, “Hendaknya tuan berpindah ke Basrah dan menetap di sana, supaya
para penuntut ilmu dari berbagai penjuru dunia datang belajar kepada tuan;
dengan demikian Basrah akan makmur kembali. Ini mengingat bahawa Basrah telah
hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedy Zenji.”Abu Dawud berkata: “Itu
yang pertama, sebutkan yang kedua!”“Hendaknya tuan berkenan mengajarkan kitab
Sunan kepada putra-putraku,” kata Amir.“Ya, ketiga?” Tanya Abu Dawud
kembali.Amir menerangkan: “Hendaknya tuan mengadakan majlis tersendiri untuk
mengajarkan hadits kepada putra-putra khalifah, sebab mereka tidak mau duduk
bersama-sama dengan orang umum.”Abu Dawud menjawab: “Permintaan ketiga tidak
dapat aku penuhi; sebab manusia itu baik pejabat terhormat maupun rakyat
melarat, dalam bidang ilmu sama.”Ibn Jabir menjelaskan: “Maka sejak itu
putra-putra khalifah hadir dan duduk bersama di majlis taklim; hanya saja di
antara mereka dengan orang umum di pasang tirai, dengan demikian mereka dapat
belajar bersama-sama.”
Maka hendaknya para
ulama tidak mendatangi para raja dan penguasa, tetapi merekalah yang harus
datang kepada para ulama. Dan kesamaan darjat dalam ilmu dan pengetahuan ini,
hendaklah dikembangkan apa yang telah dilakukan Abu Dawud tersebut.[1]
Minat
dan kepribadiannnya terbentuk oleh lingkungan. Ia harus mengembara keluar dari
Sijistan demi menuntut ilmu. Ia mengunjungi berbagai ulama’ hadits untuk
belajar dari mereka. Sejak usia anak, Abu Dawud sudah mengembara ke Hijaz,
Syiria, Khurasan, dan kawasan lainnya yang menjadi pusat ilmu dan kebudayaan
pada saat itu. Tradisi mengembara sudah menjadi keharusan bagi siapa saja yang
hendak mencari ilmu. Terlebih di dalam ilmu hadits, ada keharusan mencari,
melacaak sanad, meneliti keautentikan matan, dan kualifikasi rawi, apakah
memenuhi syarat atau tidak.
Abu
Dawud sering bekunjung ke Baghdad, dan menetap lama di sana. Atas permintaan
Gubernur Bashrah, Al-Muaffiq, ia diminta menetap di Bashrah untuk mengajar dan
menulis buku. Asbu Dawud pun memenuhi permintaan Gubernur tersebut. Hal itu
sudah menjadi kewajaran karena setiap penguasa Muslim berlomaba-lomba
mengharapkan daerahnya dengan ilmu. Menjadikan daerahnya sebagai “kiblat” ilmu
pengetahuan senantiasa menjadi program setiap penguasa pada saat itu.
Al-Hakim
Abu Abdillah berkata “Abu Dawud adalah imamnya ahli hadis pada masanya, tanpa
ada penolakan yang mendengarnya baik di Mesir, Hijaz, Syam, ulama Irak dan
Khurasan.[2] Sikap Abu Dawud yang memuliakan ilmu dan ulama
ini dapat diketahui dari kisah yang diceritakan oleh Imam al-Khattabi dari Abu
Bakar bin Jabir, pembantu Abu Dawud. Dia berkata: "Aku bersama Abu Dawud
tinggal di Bagdad. Di suatu saat, ketika kami usai melakukan shalat magrib,
tiba-tiba pintu rumah diketuk orang, lalu kubuka pintu dan seorang pelayan
melaporkan bahwa Amir Abu Ahmad al-Muwaffaq minta ijin untuk masuk. Kemudian
aku memberitahu Abu Dawud dan ia pun mengijinkan, lalu Amir duduk. Kemudian Abu
Dawud bertanya: "Apa yang mendorong Amir ke sini?" Amir pun menjawab "Ada
tiga kepentingan". "Kepentingan apa?" Tanya Abu Dawud. Amir
mengatakan: "Sebaiknya anda tinggal di Basrah, supaya para pelajar dari
seluruh dunia belajar kepadamu. Dengan demikian kota Basrah akan makmur lagi.
Karena Basrah telah hancur dan ditinggalkan orang akibat tragedi Zenji."
Ilustrasi. |
Abu Dawud
berkata: "itu yang pertama, lalu apa yang kedua?" Amir menjawab:
"Hendaknya anda mau mengajarkan sunan kepada anak-anakku." "Yang
ketiga?" tanya Abu Dawud. "Hendaklah anda membuat majlis tersendiri
untuk mengajarkan hadits kepada keluarga khalifah, sebab mereka enggan duduk
bersama orang umum." Abu Dawud menjawab: "Permintaan ketiga tidak
bisa kukabulkan. Sebab derajat manusia itu, baik pejabat terhormat maupun
rakyat jelata, dalam menuntut ilmu dipandang sama." Ibnu Jabir menjelaskan:
"Sejak itu putra-putra khalifah menghadiri majlis taklim, duduk bersama
orang umum, dengan diberi tirai pemisah". Begitulah seharusnya, ulama
tidak mendatangi raja atau penguasa, tetapi merekalah yang harus mengunjungi
ulama. Itulah kesamaan derajat dalam mencari ilmu pengetahuan.
Abu Dawud adalah juga
merupakan “bendera Islam” dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan
berpengetahuan luas terhadap hadits dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan
dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal.
Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud:“Abu Dawud diciptakan di
dunia hanya untuk hadits, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang
yang lebih utama melebihi dia.”Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim
mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: “Ini adalah Sahal, datang
berkunjung kepada tuan.”Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan
mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: “Wahai Abu Dawud, saya ada
keperluan keadamu.” Ia bertanya: “Keperluan apa?” “Ya, akan saya utarakan
nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin,” jawab Sahal.
“Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu,” tandan Abu Dawud. Lalu Sahal
berkata: “Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadits
dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya.” Abu Dawud pun lalu
menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal.
Ketika Abu Dawud
menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadits berkata:
“Hadits telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi
Dawud.” Ungkapan ini adalah kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan
atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadits. Ia telah
mempermudah yang sulit, mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit
dan pelik.
Abu Bakar al-Khallal,
ahli hadits dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud
sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as, imam terkemuka pada zamannya
adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui
tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau
menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa
menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu
menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa
pun pada masanya.
Penulis: Anjelina
Catatan Kaki
[1] http://sabiilualhaq.blogspot.co.id/2014/04/biografi-imam-abu-dawud.html.diunduh tanggal 30-12-2016, pukul 07:51
[2] Mukarom Faisal Fosidin , Menelaah Ilmu
Hadis,(PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2014), hal. 56.
0Comments