Setelah tamat dari AMS tahun 1930, Muhammad Natsir sebenarnya mempunyai kesempatan untuk meneruskan pendidikannya ke Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta atau ke Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam dengan beasiswa dari pemerintah Belanda, karena nilai-nilai akhir yang diraihnya sangat baik. Akan tetapi beliau mengabaikan kesempatan emas itu. Dia lebih memilih menjadi guru agama dan jurnalis, di samping meneruskan kajian keagamaannya dengan Ustadz Ahmad Hassan.

Muhammad Natsir memberikan pelajaran agama di beberapa sekolah menengah, seperti sekolah MULO Javastraat di Bandung dan sekolah guru di Gunung Sahari, Lembang. Sebagai jurnalis di majalah ‘Pembela Islam’, dia mendapat honor dua puluh rupiah sebulan, lebih kecil daripada uang saku yang diterimanya ketika di AMS.

Muhammad Natsir
Pada tahun 1930, Muhammad Natsir membangun sebuah sekolah di Bandung dan menamainya dengan “Pendidikan Islam” (Pendis). Sekolah itu benar-benar dimulai dari nol. Muhammad Natsir memulai kegiatan pendidikannya dengan lima orang murid di sebuah ruangan yang disewanya di simpang Jalan Pangeran Sumedang, Bandung. Ruangan yang bertetangga dengan tempat praktik tukang cukur itu sangat sederhana. Perlengkapannya hanya sebuah meja panjang. Pelajaran diberikan sejak pukul tiga sampai lima sore.

Sedikit demi sedikit sekolah itu berkembang pesat karena kepercayaan masyarakat untuk menyerahkan anak-anak mereka bersekolah di Pendis. Tempat belajarnya tidak lagi di sebuah ruangan yang sederhana, tetapi di sebuah gedung besar yang terletak di jalan utama, yakni Jalan Lengkong Besar Nomor 74 Bandung.

Tidak berhenti sampai di situ. Untuk memperdalam ilmu pendidikan dan wawasannya, Muhammad Natsir mengikuti kursus guru diploma sejak pertengahan 1931. Kursus itu berhasil ditamatkannya hanya dalam satu tahun dengan memperoleh ijazah Larger Onderwijs (LO). Sebagai hasil dari kursus itu, Muhammad Natsir berhasil menyusun rumusan atau rencana “Pendidikan Islam” untuk sekolah rendah, sekolah menengah dan sekolah guru.

Sekolah “Pendidikan Islam” yang dibinanya terdiri dari empat tingkatan, yaitu:
1.  Taman Kanak-Kanak (Frobelschool)
2.   Hollandsch Inlandsche School (HIS)
3.   Midlebare Uitgebreid Larger Onderwys (MULO)
4.  Sekolah Guru (Kweekschool)

Sekolah itu terus berlangsung dan Muhammad Natsir menjadi direkturnya sampai Jepang datang dan menutup semua sekolah partikelir, termasuk Pendis.

Hal yang mendorong Muhammad Natsir terjun ke lapangan pendidikan adalah keinginannya membangun satu sistem pendidikan yang lebih sesuai dengan hakikat ajaran Islam. Hal itu muncul setelah dia melihat akibat dari sistem pendidikan tradisional dalam pesantren dan madrasah yang tidak dapat memenuhi hajat atau keinginan masyarakat.

Pendidikan Islam, menurut Muhammad Natsir ditujukan untuk membentuk manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul. Seimbang pula ketajaman akalnya dengan kemahiran tangannya untuk bekerja. Manusia yang percaya pada kekuatan sendiri, akan mampu berdiri sendiri dan tidaka akan selalu bergantung pada harga ijazah untuk ‘makan gaji’ sebagai pegawai.

Bagi Muhammad Natsir, pendidikan adalah bagian yang integral dari kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah proses pendidikan sepanjang hayat. Muhammad Natsir melihat bahwa pendidikan harus dikembalikan kepada dasar dan tujuan semula diciptakannya manusia di muka bumi ini oleh Allah SWT. antara dasar dan tujuan pendidikan dengan dasar dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi haruslah identik dan sejalan. Dasar dan tujuannya tidak lain adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT semata. (QS. Adz-Dzariyat ayat 56). “Tujuan pendidikan adalah tujuan hidup” begitu kata Muhammad Natsir.

Dalam “Pendidikan Islam” itu, Muhammad Natsir dan guru-guru lainnya merintis sistem pendidikan yang menjurus kepada tujuan yang telah dirumuskan itu. Caranya dengan tidak banyak menghabiskan waktu untuk menghafal. Murid-murid harus lebih aktif, tidak pasif dan hanya menerima dari guru. Pelajaran agama yang diberikan sebagai mata pelajaran wajib. Semua ilmu dan pelajaran yang diberikan di sekolah pemerintah Belanda juga diberikan di semua tingkatan Pendis. Sekolah itulah yang mempelopori pelaksanaan shalat Jum’at berjamaah di sekolah. Untuk menjadi khatib, ditunjuklah murid-murid kelas tinggi Kweekschool secara bergiliran sebagai ajang latihan bagi mereka.

Murid-murid dari kelas terendah hingga kelas tertinggi diberikan pelajaran kerajinan tangan. Bagian MULO dan Kweekschool belajar berkebun sekali seminggu di tanah seluas satu hektar yang diberikan oleh seorang dermawan di Ciateul. Selain itu, kesenian juga diajarkan untuk menghaluskan perasaan. Sekolah itu memiliki piano untuk mengiringi pelajaran menyanyi. Muhammad Natsir sendiri mengajar permainan biola. Lagu-lagunya dikarang sendiri oleh guru-guru sehingga tetap segar dan sesuai dengan napas keislaman. Untuk menunjukkan hasil pendidikan, diadakan “Malam Ibu Bapak” sekali setahun. Saat itulah ditampilkan sandiwara, musik dan tari-tarian. Diselenggarakan pula pameran kerajian tangan hasil karya para murid. Orang tua murid yang menghadiri acara itu banyak yang membeli hasil kerajinan tangan yang dipamerkan.

Hasil dari “Pendidikan Islam” itu tidak mengecewakan para pembinanya. Setamat dari Pendis, mereka kembali dan terjun ke masyarakatnya. Mereka tidak mementingkan hendak menjadi pegawai negeri seperti keluaran sekolah sederajat lainnya. Jika mereka menjadi guru mereka mengajar di sekolah partikelir. Ada juga diantara mereka yang mendirikan sekolah di daerah asalnya, dan “Pendidikan Islam” dipakai untuk nama sekolah itu, sehingga Pendis berkembang di Bogor, Cirebon, Pulau Bangka, sampai ke Kalimantan. Dengan demikian, inisiatif dan keberanian untuk menciptakan sesuatu telah tertanam dalam jiwa mereka.

Keberhasilan Muhammad Natsir dengan “Pendidikan Islam” itu tidak terlepas dari bantuan teman-temannya yang membantu mengajar dengan tulus dan ikhlas. Mereka itu antara lain, Ir. Ibrahim, Ir. Indracahya, dan Fachruddin Al-Kahiri. Ada pula seorang kaya yang dermawan dan budiman bernama Haji Muhammad Yunus yang banyak memberikan jalan dan bantuan keuangan bagi kelangsungan hidup sekolah Pendis. Ada seorang lagi yang perlu disebutkan dalam pembinaan Pendis itu. Dia adalah seorang gadis bernama Noer Nahar yang saat itu sudah mengajar di sekolah “Arjuna” yang disubsidi oleh pemerintah. Di sekolah itu dia mendapatkan gaji 70 rupiah perbulan. Akan tetapi, dia bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membantu mengajar di Pendis dan suka rela melepaskan pekerjaannya yang penghasilannya lebih terjamin. Hal itu disebabkan karena dia melihat bahwa dalam pendirian “Pendidikan Islam” terdapat satu cita-cita luhur. Oleh karena itu Noer Nahar bersedia membantu mengajar di bagian taman kanak-kanak, karena dia adalah lulusan Sekolah Guru TK di Bandung.

Di tengah perjuangan pendidikan itulah, Muhammad Natsir melamar dan mengajak gadis Noer Nahar untuk membina rumah tangga. Ajakan itu diterimanya dengan baik. Pernikahan keduanya berlangsung sangat sederhana dengan acara walimah. Kalender saat itu menunjukkan 22 Oktober 1934 di Bandung. Sejak itulah keduanya melayarkan bahtera rumah tangga dalam suasana suka dan duka dinamika perjuangan. Noer Nahar mengetahui bahwa jalan hidup yang ditempuh Muhammad Natsir sama sekali tidak memberikan jaminan penghasilan yang tetap. Akan tetapi dia rela dan berani naik perahu yang dinahkodai Muhammad Natsir untuk bersama-sama menempuh samudera kehidupan yang penuh resiko dan tanggung jawab.

Masih berkenaan dengan pendidikan juga, pada Maret 1936 di Bandung, Muhammad Natsir bersama para pemimpin Persatuan Islam (Persis) mendirikan Pesantren Persis. Ahmad Hassan dipercaya sebagai pemimpin pesantren, sedang Muhammad Natsir menjadi penasihat sekaligus guru. Dalam perkembangan selanjutnya, Pesantren Persis itu dipindah ke Bangil (Jawa Timur) mengikuti kepindahan Ahmad Hassan ke sana pada tahun 1940.

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, selain bekerja sebagai guru, Muhammad Natsir juga menjadi jurnalis. Sebagai jurnalis, dia bekerja sama dengan Hassan menerbitkan majalah Pembela Islam. Majalah itu memberikan kesempatan kepada Muhammad Natsir untuk mengeluarkan pendapatnya tentang Islam dan pembaruan. Dalam tulisan-tulisannya, Muhammad Natsir memakai nama samaran. Selain itu, Muhammad Natsir juga mengirimkan karangan-karangannya ke Pandji Islam dan Pedoman Masjarakat, dua majalah mingguan Islam terkemuka saat itu yang terbit di Medan. Di sini Muhammad Natsir memakai nama samaran A. Muchlis.

Tulisan-tulisan Muhammad Natsir di tiga media itu membuatnya dikenal dan diperhitungkan sebagai tokoh muda yang dapat diharapkan umat Islam Indonesia pada masa mendatang.[1]

*Penulis: Yuliana



[1]M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia...... Hal. 8-11.