Karya-karya di bidang
hadits, kitab-kitab Jami’ Musnad dan sebagainya disamping berisi hadits-hadits
hukum, juga memuat hadits-hadits yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji
(fada’il a’mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa’iz), adab dan tafsir. Cara
demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun
kitabnya, khusus hanya memuat hadits-hadits hukum dan sunnah-sunnah yang
menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin
Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik.
Abu Dawud dalam
sunannya tidak hanya mencantumkan hadits-hadits shahih semata sebagaimana yang
telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula
kedalamnya hadits shahih, hadits hasan, hadits dha’if yang tidak terlalu lemah
dan hadits yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya.
Hadits-hadits yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya.
Cara yang ditempuh
dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada
penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai
kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb:“Aku mendengar dan menulis hadits
Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak
4.800 hadits yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab
tersebut aku himpun hadits-hadits shahih, semi shahih dan yang mendekati
shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadits pun yang telah
disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadits yang mengandung
kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadits macam ini ada hadits yang
tidak shahih sanadnya. Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikit
pun, maka hadits tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan
sebahagian dari hadits yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang
lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur’an, yang harus dipelajari
selain daripada kitab ini. Empat buah hadits saja dari kitab ini sudah cukup
menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang. Hadits tersebut adalah:
Kitab "Sunan Abu Dawud" |
Pertama: “Segala amal
itu hanyalah menurut niatnya, dan tiap-tiap orang memperoleh apa yang ia
niatkan. Kerana itu maka barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya pula. Dan barang siapa hijrahnya
kerana untuk mendapatkan dunia atau kerana perempuan yang ingin dikawininya,
maka hijrahnya hanyalah kepada apa yang dia hijrah kepadanya itu.”
Kedua: “Termasuk
kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.”
Ketiga: “Tidaklah
seseorang beriman menjadi mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya
apa-apa yang ia rela untuk dirinya.”
Keempat: “Yang halal
itu sudah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya
terdapat hal-hal syubhat (atau samar) yang tidak diketahui oleh banyak orang.
Barang siapa menghindari syubhat, maka ia telah membersihkan agama dan
kehormatan dirinya; dan barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, maka ia telah
terjerumus ke dalam perbuatan haram, ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya
di dekat tempat terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa itu
mempunyai larangan. Ketahuilah, sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang
diharamkan-Nya. Ingatlah, di dalam rumah ini terdapat sepotong daging, jika ia
baik, maka baik pulalah semua tubuh dan jika rusak maka rusak pula seluruh
tubuh. Ingatlah, ia itu hati.”
Demikianlah penegasan
Abu Dawud dalam suratnya. Perkataan Abu Dawud itu dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Hadits pertama adalah ajaran tentang niat dan keikhlasan yang merupakan asas utama bagi
semua amal perbuatan diniah dan duniawiah.
Hadits kedua merupakan tuntunan dan dorongan bagi ummat Islam agar selalu
melakukan setiap yang bermanfaat bagi agama dan dunia.
Hadits ketiga mengatur tentang hak-hak keluarga dan tetangga, berlaku baik dalam
pergaulan dengan orang lain, meninggalkan sifat-sifat egoistis, dan membuang
sifat iri, dengki dan benci, dari hati masing-masing.
Hadits keempat merupakan dasar utama bagi pengetahuan tentang halal haram, serta cara
memperoleh atau mencapai sifat wara’, yaitu dengan cara menjauhi hal-hal
musykil yang samar dan masih dipertentangkan status hukumnya oleh para ulama,
kerana untuk menganggap enteng melakukan haram.
Dengan hadits ini
nyatalah bahawa keempat hadits di atas, secara umum, telah cukup untuk membawa
dan menciptakan kebahagiaan.Pendapat Ulama Terhadap Kedudukan Kitab Sunan Abu
Dawud tidak sedikit ulama yang memuji kitab Sunan ini. Hujatul Islam, Imam Abu
Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk
mengetahui hadits-hadits ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan
beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.
Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits yang dicantumkan
oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadits-hadits maudhu’
(palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak 9 buah hadits. Walaupun demikian,
disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis
“palsu”, namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh
sebahagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita
menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadits-hadits
yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya
terhadap ribuan hadits yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana
itu kami melihat bahawa hadits-hadits yang dikritik tersebut tidak mengurangi
sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat
dipertanggungjawabkan keabsahanya.
Abu Daud telah menetapkan ciri dan syarat tertentu dalam menyusun kitab
sunannya yaitu:Didalam 1. kitab sunan
tersebut Imam Abu Daud menerangkan hadis dha’if atau terlalu dha’if. Beliau
menerangkan kedudukan sebuah hadis.
2. Manakala hadis yang
tidak diterangkan adalah hadis maqbul. Justru didalam Sunan Abu Daud
dikumpulkan berbagai hadis yang terdiri daripada hadis sahih, hasan dan juga
dha’if.[1]
Penulis: Anjelina
Catatan Kaki:
0Comments