Di tempat kelahirannya itu, ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda dan mempelajari agama dengan tekun pada beberapa alim ulama. Pada umurnya yang ke-18 tahun (1926), ia berkeinginan masuk Sekolah Rendah Belanda yakni Hollandsch Inlandsche School (HIS). Keinginan tersebut tidak terlaksana karena ia anak pegawai rendahan. Ia masuk sekolah partikelir HIS Adabiyah di Padang.[1]

Selama lima bulan pertama di Padang, ia melewati kehidupan dengan perjuangan berat. Ia memasak nasi, mencuci pakaian sendiri dan mencari kayu bakar di pantai. Kehidupan yang berat tersebut dilalui dengan senang hati. Keadaan ini, menurut Muhammad Natsir menimbulkan kesadaran akan dirinya, kesadaran bahwa rasa bahagia tidaklah terletak pada kemewahan dan keadaan serba cukup. Rasa bahagia lebih banyak timbul dari kepuasan hati yang tidak tertekan dan bebas, berani mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak mengalah terhadap keadaan, tidak berputus asa, dan percaya kepada kekuatan yang ada pada diri sendiri.[2]

Muhammad Natsir
Hanya beberapa bulan Muhammad Natsir bersekolah di HIS Adabiyah itu, dia dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di Solok yang baru dibuka. Di sana, Muhammad Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa, seorang saudagar yang dermawan. Ketika di Solok itulah, dasar agama Muhammad Natsir dibentuk dan dibina. Pagi hari dia belajar di HIS, lalu belajar di Madrasah Diniyah pada sore hari, kemudian belajar mengaji Al Quran dan ilmu agama Islam lainnya pada malam hari.[3]

Di samping belajar, ia juga mengajar dan menjadi guru bantu kelas I pada sekolah yang sama. Pada tahun 1920, ia dipindahkan ke Padang atas ajakan kakaknya, Rubiah. Ia menamatkan pendidikan HIS pada tahun 1923. Antara tahun 1916 hingga tahun 1923, ia belajar di HIS dan Madrasah Diniyah di Solok dan di Padang.[4]

Setelah lulus dari HIS. Ia lalu pergi ke kota Padang dan melanjutkan ke MULO (Midlebare Uitgebreid Larger Onderwys) setingkat SLTP sekarang. Untuk menjadi pelajar di MULO, di masa itu sedikitnya harus memenuhi beberapa persyaratan. Ia mestilah seorang anak yang punya kemampuan intelektual memadai, mampu berbahasa Belanda, dan biasanya anak orang terpandang. Bagi kalangan bumiputera, masuk MULO adalah sesuatu yang patut dibanggakan secara intelektual.[5]

Di MULO, Muhammad Natsir aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler, tetapi kegiatan kurikuler MULO tetap menjadi perhatian utamanya. Ia masuk anggota Pandu Nationale Islamietische Pavinderij, sejenis pramuka sekarang, dari perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB) Padang yang diketuai oleh Sanusi Pane. Menurut Muhammad Natsir, perkumpulan merupakan pendidikan pelengkap selain yang didapatkan di sekolah. Kegiatan organisasi besar sekali artinya bagi kesadaran hidup bermasyarakat. Dari sinilah tumbuh bibit-bibit yang akan tampil ke depan sebagai pemimpin bangsa.[6] Karena nilai Muhammad Natsir selalu baik, bahkan terbaik, dia mendapatkan beasiswa sebesar dua puluh rupiah setiap bulan dari pemerintah Belanda. Beasiswa perbulan itu terus diterimanya sampai tamat MULO.

Setamat dari MULO, Muhammad Natsir melanjutkan sekolahnya ke Algemeene Middlebare School (AMS) di Bandung. Untuk itu, dia harus berlayar jauh mengarungi lautan meninggalkan tanah kelahirannya. Pada Juli 1927, sewaktu dia berusia 19 tahun, mulailah ia belajar di AMS.

Kesannya yang pertama kali ialah bahwa bahasa Belandanya tidak fasih, tidak selancar bahasa Belanda teman-temannya yang berasal dari Jawa. Hal itu disebabkan oleh bahasa pengantar yang dipakai sewaktu sekolah di Padang dahulu adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, Muhammad Natsir sering diejek oleh teman-temannya yang tamatan MULO dari Jawa. Ejekan itu memotivasinya untuk giat belajar dan memperdalam bahasa Belandanya, di samping pelajaran-pelajaran lain. Usahanya tidak sia-sia, Muhammad Natsir berhasil memperoleh nilai yang baik. Di AMS itu pun ia mendapatkan beasiswa dari pemerintah Belanda sebesar tiga puluh rupiah perbulan. Beasiswa itu terus diterimanya hingga ia tamat dari AMS pada tahun 1930.[7]

Di sinilah Muhammad Natsir mulai berkenalan dengan pergaulan yang lebih meluas. Baik pergaulan fisik dengan multi etnis maupun secara intelektual dengan beragam pemikiran yang berkembang waktu itu. Di AMS ini pula Muhammad Ntasir mendapat nilai tertinggi dalam bahasa latin. Dengan bekal kemampuannya berbahasa asing seperti Arab, Belanda, Jerman, Inggris, Latin dan Prancis, Muhammad Natsir bias mengakses ilmu pengetahuan dengan basis-basis bahasa tersebut. Karena itu, di usianya yang masih belia 21 tahun, Muhammad Natsir sudah fasih menjelaskan peradaban dunia yang berbasis pada Islam, Romawi-Yunani, dan Barat.[8]

Ketika belajar di AMS, Muhammad Natsir aktif menjadi anggota JIB cabang Bandung, sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya adalah pelajar-pelajar bumi-putra yang bersekolah di sekolah Belanda. Bahkan ia terpilih menjadi ketua JIB sejak 1928 sampai 1932. Kegiatan Muhammad Natsir pada masa itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar Meester in de Rechten (MR).[9] Di JIB, Muhammad Natsir berkenalan dengan Mr. Kasman Singodimejo, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Mr. Mohammad Roem, dan lain-lain (yang kelak menjadi teman seperjuangannya di Masyumi).

Saat itu pula, dia berkenalan dengan Noer Nahar, seorang pemudi yang kemudian menjadi istrinya, sewaktu gadis itu menjadi anggota JIB bagian putri. Di JIB itu pula Muhammad Natsir bertemu dengan beberapa tokoh gerakan politik, seperti Haji Agus Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Syeikh Ahmad Syurkati yang sering memberikan pengajaran dan menjadi tempat bertanya para anggota JIB. Di samping itu, Muhammad Natsir juga banyak berkenalan dan banyak belajar dari Ustadz Ahmad Hassan, seorang ulama yang dikenal berpaham radikal dan tokoh utama organisasi Persatuan Islam (Persis). Keempat orang terakhir itulah yang banyak mempengaruhi alam pikiran intelektual dan keagamaan Muhammad Natsir.[10]

*Penulis: Yulianan

Catatan Kaki

[1]Sekolah ini didirikan oleh H. Abdullah Ahmad pada tanggal 23 Agustus 1915 dengan isi dan bentuk lain dari HIS Belanda. Sekolah ini juga mengajarkan semangat nasionalisme dan terbuka bagi semua anak dari semua golongan masyarakat termasuk petani, pedagang dan buruh kecil.
[2]Dr. Thohir Luth, M. Natsir ; Dakwah Dan Pemikirannya...... Hal. 22.
[3]M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia ; Peran Dan Jasa Mohammad Natsir Dalam Dua Orde Indonesia, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2010). Hal. 7.
[4]Dr. Thohir Luth, M. Natsir ; Dakwah Dan Pemikirannya...... Hal. 22.
[5]Herry Mohammad, et. al., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta : Gema Insani Press, 2006). Cet. 1. Hal. 48.
[6]Dr. Thohir Luth, M. Natsir ; Dakwah Dan Pemikirannya...... Hal. 22-23.
[7]M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia...... Hal. 7.
[8]Herry Mohammad, et. al., Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20……Hal. 48.
[9]Gelar akademik ini diberikan kepada yang telah tamat belajar dari Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi di Jakarta atau Roterdam Belanda. Nilai ijazah AMS Muhammad Natsir bagus dan memungkinkannya untuk mendapatkan beasiswa dan belajar pada salah satu fakultas tersebut.
[10]M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia...... Hal. 7-8.