Muhammad
Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang,[1] terlahir
di jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari
Jum’at tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908
dari seorang wanita yang bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan
Saripado, seorang pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor
Kontroler di Maninjau. Pada tahun 1918, ia dipindahkan dari Alahan Panjang ke
Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) sebagai sipir (penjaga tahanan). Muhammad
Natsir mempunyai tiga orang saudara kandung, yaitu Yukinan, Rubiah dan
Yohanusun.[2]
Muhammad Natsir. |
Anak
laki-laki yang dibesarkan dalam tradisi Islam yang kuat ini tak pernah tidur di
rumah orang tuanya. Setiap malam bersama kawan-kawannya, Muhammad Natsir tidur
di surau. Kendati bukan berasal dari keluarga berada, ia beruntung bisa
mengenyam pendidikan berkualitas di sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda.[3]
Sejarah mencatat
bahwa kota Padang, tempat kelahiran Natsir telah mencatat dan memberikan arti
tersendiri buat dirinya. Keterbukaan sikap penduduknya terhadap model
pendidikan Belanda terlihat jelas. Misalnya, pada tahun 1915, telah terbuka
kesempatan bagi kaum wanita untuk memperoleh pendidikan. Kesempatan belajar ini
dipergunakan secara antusias, sehingga sekolah yang dibuka pada waktu itu tidak
dapat menampung animo masyarakat yang ingin memperoleh pendidikan.
Tingginya animo
masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang demikian itu menyebabkan
Minangkabau menjadi pusat kegiatan pendidikan se-Sumatera, baik dalam bidang
pendidikan tersebut tidak hanya ditandai oleh adanya orang-orang luar
Minangkabau yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di daerah
tersebut, melainkan putra-putri daerah pun tidak segan-segan memanfaatkan kesempatan
belajar di puau Jawa, seperti halnya dilakukan oleh Muhammad Natsir.
Muhammad Natsir
adalah pribadi yang penuh pesona. Dari segi asal usul dan fisiknya, Muhammad
Natsir hanyalah orang biasa. Sifatnya yang lemah lembut, bicara dengan penuh
sopan santun dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi
teman bicaranya. Dibalik itu semua Muhammad Natsir adalah ibarat karang yang
kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan
dengan orang-orang lain.[4]
*Penulis: Yuliana
Catatan Kaki:
[1]Pengangkatan gelar pusaka ini diberikan kepada Muhammad Natsir setelah ia kawin dengan Nurhanar pada tanggal 20 Oktober 1934. Ini merupakan adat Minangkabau bahwa gelar tersebut akan diberikan kepada yang berhak menerimanya secara turun-temurun setelah yang bersangkutan melangsungkan perkawinan, walaupun tidak selamanya demikian.
[2]Dr. Thohir Luth, M. Natsir ; Dakwah Dan Pemikirannya, (Jakarta : Gema Insani Press, 1999), Cet. 1. Hal. 21-22.
[3]Tim NARASI, 100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia; Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia Di Abad 20, (Yogyakarta : NARASI, 2009). Cet. 3. Hal. 140-141.
[4]Biografi Muhammad Natsir, Bab 2, pdf
0Comments