K.H Hasyim Asy’ari merupakan salah satu ulama yang kharismatik dan mempunyai peran yang sangat besar dalam dakwah Agama Islam dan dunia pendidikan serta perjuangan melawan penjajah di Indonesia. Beliau lahir di Desa Nggendang yang letaknya kurang lebih dua kilometer sebelah utara Jombang pada tanggal 24 Dzulqa’dah 1287 H bertepatan pada tanggal 14 Februari 1817 M.[1] Setelah lahir beliau diberi nama Muhammad Hasyim, garis keturunan beliau dari keluarga yang sangat kuat agamanya, ayah beliau bernama Ays’ari seorang pendiri pesantren di Jombang dan ibu beliau bernama Halimah merupakan putri Kiai Usman pendiri yang juga pengasuh dari Pesantren Gedang.[2]
KH. Hasyim Asy'ari. (foto: dakwatuna.com) |
Ada perbedaan pendapat mengenai nasab beliau, menurut MQ. Al Madyuni nasab kelahiran K.H Hasyim Asy’ari sampai kepada Nabi Muhammad Saw melalui jalur nasab Sunan Giri[3] yang mempunyai nama lengkap Raden Ainul Yaqin.[4] Berbeda dengan pendapat Burhanudin, beliau menjelaskan bahwa K.H Hasyim Asy’ari dari silsilah dari Raja Brawijaya VI kemudian mempunyai anak yang bernama Joko Tingkir[5]. Rohinah M. Noor menambahkan bahwa K.H Hasyim Asy’ari tercatat sebagai keturunan dari Prabu Brawijaya yang Ke VI.[6]
Diceritakan ketika ibu K.H Hasyim Asy’ari mengandung, ibu beliau bermimpi tentan purnama rebah di kandungannya, setelah bermimpi ibu beliau bercerika kepada suaminya yakni K.H Asy’ari dengan keadaan gelisan dan badan menggigil. Mendengar cerita istrinya K.H Asy’ari terpesona dengan mimpi istrinya tersebut.[7]
Lahir di lingkungan yang menjunjung tinggi budaya Islami dan berada di keluarga ulama terkemuka tentu sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Hasyim kecil. Beliau mulai belajar dasar-dasar agama Islam di pesantren ayah beliau. Semangat untuk menuntut ilmu yang sangat tinggi sudah tertanam sejak kecil bahkan ketika berumur 15 tahun setelah menyelesaiakn pendidikan di pesantren ayah beliau. Hasyim kecil meminta izin kepada orang tua beliau untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren Siwalan Sidoharjo yang dipimpin oleh Kyai Ja’kub.[8]
Enam tahun nyantri di Pondok Pesantren Siwalan Sidoharjo, K.H Hasyim Asy’ari dinikahkan dengan putri Kyai Ja’kub yang bernama Khadijah tentu saja sang kyai punya asalan yang kuat untuk menikahkan putri beliau dengan Hasyim. Selama di sana beliau dikenal sangat cerdas dan menguasai berbagai cabang ilmu, hal ini yang menjadikan beliau sangat menonjol dari santri lainnya dan hal ini pulalah yang menjadi alasan Kyai Ja’kub menikahkan beliau dengan putri kesayangan beliau.
Setelah menikah mereka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu di sana. Tepat tujuh bulan berada di Mekkah dan di masa - masa K.H Hasyim Asy’ari semangat menuntut ilmu, istri beliau melahirkan seorang anak dan diberi nama Abdullah, tetapi kebahagiann tersebut tidak berlangsung lama, setelah melahirkan istri beliau wafat dan tak lama berselang setelah kejadian tersebut, 40 hari kemudian bayi kecil bernama Abdullah juga wafat menyusul ibundanya.[9]
Ujian dan cobaan yang diberikan oleh Allah kepada K.H Hasyim Asy’ari tentu sangat berat, bisa dirasakan bagaimana sedihnya jika dua orang yang sangat dicintai sudah tidak nampak lagi di hadapan. tetapi dengan ilmu agama yang dimiliki beliau ujian apapun yang dihadapi tentu diartikan menjadi ajang latihan untuk selalu meningkatkan keimanan beliau.
Menurut Herry Muhammad dalam bukunya yang berjudul Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, menjelaskan bahwa K.H Hasyim Asy’ari bermukin di Mekkah selama tujuh tahun[10] Selama di Mekkah beliau berguru dengan ulama - ulama besar salah satu diantaranya adalah Syeikh Mahfudz at Tirmisi yang dikenal sangat menguasai ilmu dibidang hadits, yang diajarkannya adalah Kitab Shahi Bukhari. Syeikh Mahfudz at Tirmisi merupakan generasi terakhir dari 23 generasi ulama-ulama Shahih Bukhari yang mendapatkan ijazah langsung dari pengarang Kitab Shahih Bukhari yaitu Imam Bukhari. Sedangkan K.H Hasyim Asy’ari mendapat ijazah Kitab Bukhari dari guru beliau tersebut dan juga berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang sudah menguasai kitab tersebut.[11]
Masih ada guru-guru beliau yang juga ulama-ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syiekh Nawawi Bantani, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi.
Setelah menggali ilmu-ilmu agama dan umum yang beliau peroleh dari guru-guru beliau pulang ke nusantara dan mendirikan Pesantren Tebuireng di daerah Jombang (1817-1947 M), sistem pendidikan yang didesain beliau mampu menjadi kiblat pesantren-pesantren dan ulama-ulama tanah air khususnya di pulau Jawa, hal ini dibuktikan dengan berdirinya pesantren-pesantren terkemuka di tanah jawa yang didirikan oleh murid-murid beliau.[12]
Karel A. Steenbrink dalam Nur Huda menjelaskan bahwa Pesantren Tebuireng menerapkan Mamba’ul Ulum pada tahun 1919 M dengan mendirikan Madrasah Salafiyah, sebagai jenjang lanjutan memasuki tingkat menengah di pesantren tersebut, adapun sistem pendidikan yang diterapkan mengadopsi sistem pendidikan modern.[13] Peran beliau dalam pendidikan Islam di Indonesia sangat besar khususnya di dunia pesantren sehingga beliau beri julukan “Hadratus Syekh”.[14] Sedangkan Abdurrahman Mas‟ud menyebut-menyebut bahwa K.H Hasyim Asy’ari sebagai “Master Plan Pesantren”[15], beliau juga merupakan salah satu tokoh penting yang pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang mempunyai arti kebangkitan ulama.[16]
Selain jasa beliau yang sangat besar di dunia pendidikan, K.H Hasyim Asy’ari juga membantu perjuangan Negara ini dengan berjihat melawan penjajah sehingga berkat usaha dan perjuangan beliau tersebut, pemerintah memberikan penghargaan yang sangat besar pada tahun 1964 yaitu sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.[17]
K.H Hasyim Asy’ari dengan prestasi-prestasi yang pernah diraihnya menjadikan nama beliau harum dan tetap dikenang oleh masyarakat Negara ini dan Umat Islam khususnya. Beliau tutup usia pada bulan yang suci bertepatan pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H/ 1947 M. Jenazahnya dimakamkan di wilayah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur.[18]
Semasa hidup beliau pernah menikah sebanyak 7 kali,[19] hebatnya sesemua istri-istri beliau merupakan putri dari seorang ulama, empat orang diantara adalah Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah.[20] Beliau mempunyai ana sebanyak 15 orang, anak-anak perempuan beliau adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Ummu Abdul Jabar, Ummu Abdul Haq, Masrurah, Khadijah dan Fatimah. Adapun anak laki-lakinya adalah Abdullah (meninggal di Mekkah dan berumur 40 hari), Abdul Wahid Hasyim, Abdul Hafidz, yang lebih dikenal dengan Abdul Khalik Hasyim, Abdul Karim, Yusuf Hasyim, Abdul Kadir dan Ya‟kub.[21]
(Artikel ini merupakan penggalan dari jurnal Muhammad Nasir, M.Pd.I dengan Judul Pendidikan Islam di Indonesia Perspektif KH Hasyima Asy'ari)
Catatan Kaki
[1]Rohinah M. Noor, MA. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU dan Pendidikan Islam, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010), h. 12.
[2]Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 197.
[3]MQ Al-Madyuni, Sang Kiai Tiga Generasi, (Tebuireng: Pustaka Al-Khumul, 2013), h. 3.
[4]Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoro), Maulana Ishaq, dan Ainul Yaqin (Sunan Giri). (Lihat Wikipedia)
[5]Tamyiz Burhanuddin, Akhlak Pesantren Solusi Bagi Kerusakan Akhlak, (Yogyakarta: Ittaqa Press, 2001), h. 16.
[6]Rohinah M. Noor, MA. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi….., h. 12.
[7]Rohinah M. Noor, MA. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi…., h. 12.
[8]Rohinah M. Noor, MA. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi…., h. 13.
[9]Rohinah M. Noor, MA. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi…., h. 13.
[10]Herry Muhammad, et.al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 23.
[11]Rohinah M. Noor, MA. KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi…., h. 14.
[12]Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia…., h. 185
[13]Hur Huda, Islam Nusantara, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 385.
[14]Hadratus Syekh mempunyai arti “Maha Guru”gelar yang diberikan kepada K.H Hasyim Asy’ari oleh Hampir seluruh kyai di tanah Jawa. Lihat Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Sala: Jatayu Sala, 1985), h. 58.
[15]Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren…., h. 207.
[16]https://id.wikipedia.org/wiki/Hasjim_Asy'ari. (diakses pada tanggal 1 Desember 2016).
[17]Surat Keputusan Presiden RI No.294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, Pemerintah RI menganugerahi Kyai Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
[18]M. Hasyim Asy’ari, Etika Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titian Wacana, 2007), h. xi-xiv.
[19]Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 126.
[20]Lathifatul Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy'ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 20 - 21.
[21]Chairul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, (Sala: Jatayu Sala, 1985), h. 58.
Izin Min, sedikit koreksi di tahun tahun lahir.. setahu saya Hadratussyaikh Hasyim Asyari lahirnya 1871 bukan 1817..
ReplyDeleteTerimakasih banyak atas koreksiannya, dan kesalahan penulisan sudah diperbaiki. Salam
Delete